Pages

Selasa, 03 Mei 2011

"Suram, Pertumbuhan Internet Indonesia 2003"

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sempat optimis bahwa pertumbuhan pelanggan Internet Service Provider (ISP) sepanjang 2002 lalu dapat melaju sebesar 72,12% menjadi 1 juta pelanggan, bergerak dari 581 pelanggan pada 2001. Sayangnya, optimisme tersebut ternyata masih harus disimpan di bawah bantal. Dihadapkan pada hasil riset ACNielsen Indonesia terkini, APJII akhirnya harus menyerah pada kenyataan bahwa pertumbuhan pelanggan sepanjang 2002 hanya 7% saja.

Masih menurut ACNielsen, jumlah pengguna akses residensial (rumah-tangga) ternyata anjlok sebesar 6%, dari level 13% pada 2000 menjadi hanya 7% pada 2002. Seiring dengan penurunan daya beli masyarakat, lantaran naiknya biaya kehidupan sehari-hari, ditambah dengan naiknya tarif telepon, maka suram adalah kata yang tepat untuk memprediksi pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia pada 2003.

Naiknya Biaya Menggunakan Internet

Naiknya tarif telepon hingga rata-rata sebesar 33,33% pada 2003, apapun alasannya, membawa dampak turutan yang cukup signifikan, karena secara otomatis biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna Internet dial-up akan mengalami kenaikan. Hitung-hitungan mudahnya, jika pada 2002 untuk biaya pulsa telepon lokal yang harus dikeluarkan sekitar Rp 6500 per jam, maka pada 2003 nanti akan melonjak menjadi sekitar Rp 8500 per jam. Jika rata-rata biaya berlangganan akses Internet adalah sebesar Rp 3300 per jam, maka total biaya yang harus ditanggung oleh pengguna dial-up pada 2003 adalah Rp 11800 per jam. Biaya ini tentu akan semakin memberatkan para pengguna residensial. Jika pada 2002 biaya koneksi Internet Rp 9800 per jam berdampak pada anjloknya pengguna residensial sebesar 6%, maka dapat dibayangkan bagaimana dengan kondisi 2003 dengan biaya Rp 11800 per jam tersebut (biaya tersebut belum termasuk abodemen ISP sekitar Rp 20 ribu per bulan).

Para ISP pun terpaksa harus makin mengetatkan ikat pinggangnya, kalau tidak ingin menyusul kematian rekan-rekan mereka sebelumnya. Padahal, seperti kerap dikeluhkan oleh beberapa pengelola ISP, biaya langganan mereka sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan operasional, semisal sewa saluran E-1 dari Telkom, menyewa bandwidth Internet, memelihara infrastruktur dan sebagainya. Menurut mereka, menaikkan biaya berlangganan adalah cara bunuh diri yang cepat. Pelanggan akan berhamburan kabur, karena biaya koneksi Internet akan semakin mencekik. Akhirnya rata-rata ISP mematok biaya berlangganan hanya sebesar Rp 3300 per jam, dan biaya itupun tidak mengalami kenaikan sejak beberapa tahun lalu. Walhasil, tidak banyak ISP yang mampu bertahan hidup. Sebagian ada yang secara pasrah menguburkan dirinya, sebagian ada yang masih optimis berjuang.

Dari sekian banyak yang optimis ini, rata-rata menghidupi dirinya dari bisnis-bisnis sampingan non dial-up, semisal bisnis Voice over Internet Protocol (VoIP), memfokuskan diri pada pelanggan korporasi ataupun menjajakan hardware secara retail. Itupun hasilnya hanya pas-pasan untuk nafas sehari-hari, sangat minim dana yang dapat dialihkan untuk berpromosi dan melakukan pengembangan pasar. Inilah sebabnya maka pertumbuhan pelanggan Internet di Indonesia sepanjang 2002 stagnan. Pasar tidak berkembang, dan ISP yang ada hanya mengelola, atau bahkan memperebutkan, porsi kue yang itu-itu saja.

Buah Simalakama TelkomNet Instan

Sialnya, ISP yang sudah senin-kamis tersebut masih harus bersaing dengan TelkomNet Instan. Tidak usahlah kita jauh-jauh menganalisa persaingan dari sisi kemudahan dan kemurahan biaya dalam mendapatkan saluran “wajib” bagi para ISP yaitu E-1. Yang jelas kita sama-sama tahu, TelkomNet adalah anak emas Telkom, dan Telkom adalah satu-satunya penyedia E-1 di tanah air ini. Cukuplah kita menganalisa persaingan tersebut dari faktor biaya berlangganan Internetnya saja. Menurut hasil survei majalah InfoKomputer, yang juga dimuat oleh buletin TelkomNet edisi Oktober 2002, TelkomNet menguasai 50,7% pangsa pasar pelanggan ISP secara nasional.

Remah-remahnya diperebutkan oleh beberapa ISP, dengan porsi yang menguatirkan. Posisi kedua setelah TelkomNet adalah CBN dan Centrin, yang keduanya sama-sama meraih pangsa pasar sebesar 7,91%. Dengan posisi dominan tersebut, ditambah dengan kemudahan mendapatkan beragam infrastruktur dari Telkom sebagai induk semangnya, TelkomNet tentu mampu melakukan apapun untuk memperbanyak peggunanya. Jika besaran kue yang diperebutkan oleh para ISP hanya yang itu-itu saja, maka apapun langkah TelkomNet Instan akan menjadi buah simalakama.

Mengapa demikian? Ini berkaitan dengan tarif TelkomNet yang sebesar Rp 9900 per jam, sudah termasuk biaya pulsa telepon dan akses Internet, tanpa dikenakan biaya abodemen ISP. Pada 2003, tarif TelkomNet tersebut setara dengan biaya yang harus dikeluarkan pengguna Internet biasa apabila menggunaka ISP lain. Tetapi dengan keunggulan yang dimiliki TelkomNet, semisal tidak ada biaya bulanan, tanpa harus mendaftar, tagihan akses Internet disatukan dengan lembar tagihan pulsa telepon dan dapat diakses dibanyak kota melalui saluran 0809, maka pastilah TelkomNet menjadi pilihan utama dan terbukti menguasai mayoritas pangsa pasar.

Belum lagi promosi besar-besaran jasa TelkomNet oleh induk semangnya melalui beragam jalur yang tidak mungkin dilakukan oleh para ISP lain. Misalnya melalui iklan rutin di berbagai media cetak dan di sebuah acara variety show Telkomania yang tiap minggu rutin ditayangkan selama satu jam di RCTI. Tak cukup hanya itu, TelkomNet bahkan secra berkala melakukan diskon progresif hingga sebesar 40% untuk pemakaian Internet di atas 40 jam per bulan.

Jika pada 2003 ini TelkomNet tetap mematok biaya akses Internetnya pada angka Rp 9900 per jam, maka dapat dipastikan bahwa TelkomNet akan semakin digdaya lantaran jika menggunakan ISP lain para pengguna Internet akan terkena biaya Rp 11800 per jam. Dapat dibayangkan bahwa akan terjadi migrasi besar-besaran para pengguna dial-up dari ISP lain ke TelkomNet.

Menaikkan tarif TelkomNet pun ternyata bukan suatu solusi yang jitu. Pasalnya, cukup banyak yang pengguna Internet yang puas dengan pelayanan TelkomNet dengan harga yang terjangkau tersebut. Buktinya dia berhasil memperoleh penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2002 tentang Perolehan Terbaik Kepuasan Konsumen dalam kategori ISP. Oleh karena itu, TelkomNet tentu akan berpikir berulang kali jika ingin menetapkan kenaikan layanan Internetnya.

Selain ini berkaitan dengan bentuk perhatian kepada konsumen mengenai kualitas dan harga yang sepadan, tentu saja TelkomNet juga tidak akan rela apabila porsi kuenya yang sudah sebesar 50,7% tersebut berkurang nantinya lantaran lari ke ISP lain. Kalau bisa diperbesar, mengapa tidak. Tetapi yang paling penting dari pertimbangan untuk tidak menaikkan tarif TelkomNet adalah karena masih sangat banyak pengguna dial-up residensial dan warnet kelas menengah yang tergantung kepada Telkomnet. Bagi para pengguna residensial, kenaikan tarif TelkomNet ini tentu akan berdampak pada semakin enggannya mereka untuk menggunakan Internet. Berarti akan semakin anjloklah pengguna Internet dari sektor rumah tangga. Sedangkan bagi warnet kelas menengah dan menengah ke bawah, kenaikan tarif TelkomNet benar-benar suatu bencana.

Kalau warnet coba-coba menaikkan tarif sewa mereka, maka akan semakin besar kemungkinan pelanggan lari ke warnet lain yang lebih besar, yang lebih mampu mengadopsi teknologi akses Internet alternatif semisal menggunakan wireless, ADSL, cable ataupun VSAT sekalipun. Tetapi jika tarif sewa tidak mereka naikkan, ini akan memporak-porandakan cash flow mereka, lantaran mengecilnya pemasukan mereka. Apapun langkah yang akan dipilih oleh warnet, bagaikan menggali lubang kubur mereka sendiri.

Harapan Tinggal Harapan

Jelas sudah, keberadaan TelkomNet memang berpengaruh secara bisnis bagi ISP lain. Meskipun demikian, TelkomNet juga memiliki sumbangan yang signifikan terhadap komunitas Internet di Indonesia. Yang jadi inti masalahnya, perilaku berbisnis TelkomNet, yang kerap dianak-emaskan oleh Telkom, secara langsung akan berpengaruh pada peningkatan penetrasi Internet. Semakin sedikit ISP yang sehat, akan semakin kecil kemungkinan adanya anggaran pendidikan dan peningkatan potensi pengguna Internet di Indonesia. Sudah pasti, TelkomNet tidak akan mampu mengembangkan pasar seorang diri.

Apa yang dilakukan TelkomNet saat ini tidak lain hanyalah merebut porsi kue dari ISP lain, tanpa membesarkan kue atau mengadakan kue tambahan. Menurut APJII, total ada 180 ijin ISP yang telah dikeluarkan Ditjen Postel hingga 2002. Dari jumlah sebanyak itu, tidak lebih 20 buah saja yang masih bisa bertahan hidup dengan mengais rezeki dari sektor residensial. Sedangkan yang lain sudah enggan melayani pasar residensial yang tak kunjung membesar tetapi diperebutkan oleh sekian banyak ISP, termasuk Telkomnet yang sudah menguasai 50,7%. Sudah tidak ada lagi yang tersisa.

Kalau ditarik ke belakang, memang ujung dari permasalahan ini adalah mahalnya tarif telepon di Indonesia. Apapun alasan dan tujuan kenaikan tersebut, pastinya akan memukul industri Internet di Indonesia. Kalaupun kenaikan dan mahalnya tarif telepon di Indonesia adalah harga mati, sebenarnya masih ada optimisme dari para pebisnis ISP untuk dapat terus berjuang. Syarat yang mereka ajukan antara lain adalah Telkom tidak pilih kasih dan tidak mempersulit penyediaan infrastruktur E-1, TelkomNet harus disapih dari induk semangnya dan VoIP diijinkan sebagai bisnis sampingan yang bebas dan legal bagi ISP tanpa terkecuali. Harapan tinggal harapan?

0 komentar:

Posting Komentar