Pages

Selasa, 03 Mei 2011

Fedora Gantikan Red Hat Linux

detikcom - Jakarta,Red Hat, perusahaan distributor Linux terkemuka dunia, memutuskan akan menghentikan distribusi Red Hat Linux. Pengguna Red Hat Linux diarahkan untuk mengadopsi Proyek Fedora.

Dalam e-mail yang dikirimkan Red Hat ke pelanggan-pelanggannya, Selasa (04/11/03), perusahaan asal Amerika Serikat itu menyatakan akan menghentikan dukungan bagi Red Hat Linux. Selain itu, Red Hat juga tidak akan memproduksi lagi sistem operasi Linux dengan label itu, setelah versi yang terakhir (Red Hat 9).

Mulai akhir tahun ini, dukungan Red Hat pada produk gratis Red Hat Linux (versi 7.1, 7.2, 7.3 dan 8.0) akan dihentikan. Sedangkan untuk Red Hat Linux versi 9, dukungan baru berhenti April tahun depan.

Seperti diketahui, Red Hat Linux adalah rangkaian produk Linux dari Red Hat yang bisa didapatkan secara gratis. Sebagai gantinya, Red Hat menyarankan pelanggannya untuk beralih ke Red Hat Enterprise Linux.

Proyek Fedora
Namun, penggemar Linux yang menyukai Red Hat tidak usah khawatir. Red Hat secara jelas menyatakan dukungannya (tidak resmi) kepada Proyek Fedora.
Fedora adalah sebuah proyek sistem operasi berbasis Linux dengan teknologi serupa Red Hat. Disebutkan dalam situsnya, teknologi yang dikembangkan dan diujicobakan dalam Fedora biasanya akan dialihkan ke Red Hat.

Boleh dibilang, Fedora ini semacam ladang percobaan bagi Red Hat. "Red Hat Linux akan bergabung dengan Fedora. Dengan banyaknya tujuan yang serupa, jika kami bekerja sendiri-sendiri banyak waktu akan terbuang," sebut pernyataan di situs Fedora.

Red Hat Inc. secara resmi mensponsori Fedora, dan menyumbangkan tenaga ahli-nya untuk mengembangkan Fedora. Namun, Red Hat menegaskan Fedora bukan produk yang didukungnya secara teknis (dalam hal penanganan kesalahan, pembuatan 'tambalan' dan sebagainya).

Motivasi Uang
Walau bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan Red Hat 'membunuh' Red Hat Linux adalah bisnis. Red Hat Linux jelas-jelas tidak memberikan fulus kepada salah satu perusahaan Linux tersukses di dunia ini.

Sebaliknya, Red Hat Enterprise Linux, terbukti bisa menyalakan api di dapur Red Hat. Tercatat, US$ 10,4 Juta dalam bentuk dana siap pakai (operating cash flow) pernah dihasilkan oleh produk ini, seperti disebutkan laporan keuangan September 2003.

Meski Red Hat Linux sudah dinyatakan mati, Red Hat juga tidak ingin kehilangan basis komunitas yang telah mendukungnya sejak awal. Itu sebabnya, Red Hat tetap mensponsori Fedora. (wsh)

Dinamik Routing ala Zebra

Routing....., mungkin orang awam seperti saya belom mengerti apa itu routing, tetapi bagi seorang admin jaringan pasti sudah sangat mengenal kata routing tsb.
Routing selalu berhubungan dengan Router dan Router bagi banyak orang akan identik dengan Cisco, 3Com, DLink dan banyak lagi yang ada dipasaran. Dan tentunya dengan harga yang sangat mahal ukuran saya yang hanya ada di dompet duit recehan melulu :)
Tapi nggak usah takut ada Zebra yang siap sebagai dewa penolong.

Sebelum terlalu jauh ada baiknya kita ulas sedikit apa itu zebra
Zebra adalah sebuah applikasi yang dipasangakan pada sistem operasi unix, linux atau bsd yang dapat menangani tugas routing.
Zebra mensupport banyak protokol routing RIPv1, RIPv2, RIPng, OSPFv2, OSPFv3, BGP-4, and BGP-4+, Zebra juga mendukung BGP Route Reflector dan Route Server baik yang berjalan pada IPv4 routing protocols maupun IPv6 routing protocols disamping itu Zebra juga mendukung SNMP.

Mengapa Zebra dikatakan sebagai dewa penolong :)
Zebra berada di bawah lisensi GNU (free)
Zebra dapat mengurangi biaya pembelian router :)

OK, sekarang kita akan coba install applikasi zebra di mesin linux, saya gunakan linux Redhat 9.0
Dalam installasi Zebra ada 7 tahap yang harus kita lakukan
1. Siapkan Sebungkus Rokok Gudang Garam Internasional + korek api (karena saya perokok :))
2. Siapkan kopi panas dan makanan ringan (karena saya suka ngopi dan ngemil)
3. D/L source zebra dari sitenya www.zebra.org/download, ambil versi stabel terakhir.
4. Bongkar arsip paket zebra
5. Configure zebra
6. Build zebra
7. install zebra

Saya asumsikan langkah 1 - 3 sudah di lakukan, sekarang kita lanjut ke langkah 4.
misal paket zebra ada di dir /home/belog
tar xzpf zebra-0.94.tar.gz

langkah 5
asumsi masih ada di dir /home/belog
langkah empat tadi akan membentuk sebuah dir baru dengan nama zebra -0.94
cd zebra-0.94
./configure --sysconfdir=/etc/zebra --prefix=/usr/local/zebra \
--disable-ipv6 \
--enable-tcp-zebra

untuk option anble dan disable ini silahkan baca manualnya zebra disitenya.

langkah 6
Pastikan langkah 5 tidak ada pesan kesalahan, setelah itu lakukan building applikasi zebra dengan perintah :
make

langkah 7
Pastikan langkah 6 tidak ada pesan error, setelah itu kita akan menginstall appikasi zebra dengan perintah
make install

jika isntallasi sukses maka di dir /etc/zebra akan ada file
zebra.conf.sample
ripd.conf.sample
osfpd.conf.sample
bgpd.conf.sample

lalu rubah file tersebut menjadi :
mv zebra.conf.sample zebra.conf
mv ripd.conf.sample ripd.conf
mv osfpd.conf.sample ospfd.conf
mv bgpd.conf.sample bgpd.conf

karena saya menggunakan redhat, maka saya harus mengcopy beberapa file init agar zebra dapat up begitu pc saya restart
cp /home/zebra-0.94/init/redhat/zebra.init /etc/rc.d/init.d/zebra
cp /home/zebra-0.94/init/redhat/ripd.init /etc/rc.d/init.d/ripd
cp /home/zebra-0.94/init/redhat/ospfd.init /etc/rc.d/init.d/ospfd
cp /home/zebra-0.94/init/redhat/bgpd.init /etc/rc.d/init.d/bgpd
chmod 755 /etc/rc.d/init.d/*

langkah diatas juga berlaku buat yang menggunakan distro suse dan mandrake
untuk distro lain, tinggal tambahkan di file /etc/rc.d/rc.local

disamping itu kita juga harus mengedit file /etc/services
vi /etc/services

tambahkan baris berikut

zebrasrv 2600/tcp
zebra 2601/tcp
ripd 2602/tcp
ripng 2603/tcp
ospfd 2604/tcp
bgpd 2605/tcp
ospf6d 2606/tcp

sampai disini, sepertinya zebra sudah siap
sekarang tinggal menjalankan applikasi zebra

jika sudah jalan coba lakukan perintah
netstat -ptan
maka hasilnya spt ini
Active Internet connections (servers and established)
Proto Recv-Q Send-Q Local Address Foreign Address State
tcp 0 0 127.0.0.1:2600 0.0.0.0:* LISTEN
tcp 0 0 0.0.0.0:2601 0.0.0.0:* LISTEN
tcp 0 0 0.0.0.0:2602 0.0.0.0:* LISTEN
udp 0 0 0.0.0.0:520 0.0.0.0:*

zebra udah jalan mas :) tinggal di konfigurasi
file configurasinya ada di /etc/zebra/zebra.conf

kira kira isinya spt ini :
!
! Zebra configuration file
!
hostname Router
password zebra
enable password zebra
!
log stdout
!
!

untuk perintah perintah zebra, tdk berbeda dengan perintah IOS Cisco, saya saya saran untuk detailnya silahkan kunjungi sitenya zebra atau cisco.

dibawah ini saya sertakan konfigurasi dinamik routing dengan menggunakan RIP ver 2

interface Loopback0
ip address 10.10.10.1 255.255.255.0
!
interface Ethernet0
ip address 192.168.1.1 255.255.255.0
!
router rip
version 2
network 10.0.0.0
network 192.168.1.0
no auto-summary


Note: refer : www.zebra.org & www.cisco.com

Dii bawah /etc

Artikel ini khusus buat pemula seperti saya yang baru kenalan dengan linux.
Dalam linux secara defaut semua sistem konfigurasi akan berada dibawah sub direktory /etc. Bagi pemula linux yang notabene sebelumnya menggunakan windows tentu akan sedikit asing dengan direktory ini.
Berikut saya kutip sedikit apa apa yang ada di bawah direktory /etc

/etc/export :
file ini berisi configurasi untuk loading NTFS

/etc/ftpusers
file ini berisi konfigurasi siapa saja user yang tdk dapat menggunakan service FTP

/etc/fstab
file ini berisi konfigurasi file sistem mana yang akan di mounting secara otomatis

/etc/host.(allow;deny)
file ini berisikan informasi, host host mana yang bisa mengakses dan host host mana yang tidak bisa mengakses mesin anda.

/etc/inetd.conf atau /etc/xinetd.conf
file ini sering disebut sebagai biangnya service network, karena dengan file ini kita dapat mengaktipkan dan menonaktipkan service service seperti : FTP, TELNET dll.

/etc/inittab
file ini menentukan runlevel dari sistem, runlevel yang dipakai 0-6

/etc/motd
file ini berisikan pesan yang akan ditampilkan setiap user berhasil login ke sistem

/etc/passwd
file ini berisikan password password dari pengguna sistem, dan biasanya file ini sudah terenkripsi, sehingga password akan berupa karakter x

/etc/services
file ini brisikan service yang akan jalan, dan biasanya file ini saling berhubungan dengan file /etc/inetd.conf dan file /etc/xinetd.conf

/etc/security
file ini berisikan informasi dimana root bisa login

/etc/shell
file ini berikan informasi shell yang terinstall pada sistem

/etc/profile
file ini berisikan info tentang user, kapan user login, apa yang dilakukan dll

demikian sedikit dari kami
semoga dapat bermanfaat, artikel ini sebagian kami ambil dari linuxgazette

Debian Linux

Debian adalah 'kernel independent'. Disamping Linux ia juga bekerja untuk tersedianya kernal jenis lain dalam lingkup proyek GNU. Debian sangat konsisten dengan konsepnya telah meraih keparcayaan yang tinggi untuk dijadikan basis dari beberapa distribusi baru seperti Corel Linux dan Storm Linux.

Debian GNU/Linux: Debian adalah free, sebuah sistim operasi Open Source GNU/Linux sejati. Debian adalah 'kernel independent' dimana pada saat ini Debian baru merilis sistim operasi dengan kernel Linux. Sementara itu, Debian mengembangkan dan menerapkan kernel lain dengan nama Hurd. Kernel Linux (completely free software) pengembangannya dimulai oleh Linus Torvalds yang didukung oleh lebih dari 1000 programmers relawan diseluruh dunia. Sedangkan Hurd merupakan kumpulan servers yang bekerja diatas 'microkernel' (seperti Mach) dalam merealisasikan berbagai 'features' baru. Hurd adalah 'free software' yang dibuat dalam sebuah proyek GNU. Proyek senilai 1.9 Miliar Dollar. Debian adalah salah satu perangkat lunak FREE terbesar dikembang oleh 900 relawan developer sejati yang berkolaborasi via Internet. Dalam sebuah penelitian kasus Potato 2.2 diperhitungkan mengandung sekitar 2800 paket perangkat lunak [4000 paket untuk versi rilis berikutnya], terdiri dari 55 juta baris kode SLOC (source line of code). Bila ini dibuat dengan cara komersil, diperhitungkan akan menelan biaya sebesar 1.9 miliar USD.

Corel Linux..Optimasi Linux Desktop

Menyusul dan mengikuti jejak Caldera, Corel menampilkan dukungan grafis dalam instalsi dan berbasis Debian GNU/Linux. Kemampuan grafis dari vendor yang dikenal luas dengan Corel Draw-nya itu tidak perlu diragukan lagi. Kecuali itu Corel mengkompilasi WordPerfect 8 dalam paket Linuxnya.

Corel Linux adalah Sistim Operasi yang dirancang khusus untuk desktop dengan ciri-ciri khas sbb:

Instalasi sederhana dengan Corel® Install Express
Otomatis mendeteksi hardware PCI
Menyediakan partisi gabungan untuk sistem dual-boot dengan pilihan install custom.
Fasilitas bantuan (Help)
Manajemen File dengan Corel® File Manager
Drag-and-drop dengan grafis
Browse drive melalui jaringan dan lokal Windows®
File transfer dan web browsing
Desktop menggunakan grafis
KDE sebagai Desktop
IP, gateway, server DNS, dan domain server dapat dikonfigursasi dengan sederhana
Instalasi printer didukung grafis
Update sistem lokal dan via Web
Installasi applikasi baru dengan mouse klik.

Caldera Open Linux

(Caldera) Open Linux adalah distribusi pertama yang menawarkan cara instalasi dengan dukungan grafis dan integrasi 'Partition-Magic'. Versi 2.2 adalah yang paling sukses dan mendapat 'award' di LinuxWorld 1999, sebagai Linux desktop terbaik

Caldera adalah jawaban bagi yang mengatakan bahwa Linux itu sulit di-instalasi atau dipakai. Telah terpilih sebagai pemenang Desktop 99 oleh LinuxWorld, karena dianggap mudah terutama bagi yang masih berat meninggalkan Windows®. Caldera dapat di-instalasi dari Windows (auto run), membuat partisi (PartitionMagic) kemudian hidup berdampingan (coexist) dengan Windows®.

BSA: Pemerintah Jangan Wajibkan Open Source

detikcom - Jakarta, Pemerintah Indonesia mulai menjalankan program IGOS. Business Software Alliance (BSA) mengharapkan pemerintah tidak mewajibkan penggunaan piranti lunak Open Source.

IGOS (Indonesia Goes Open Source) adalah program pemerintah untuk mendukung penggunaan piranti lunak Open Source. Lewat program ini pemerintah berjanji akan memberikan teladan dengan menggunakan software Open Source di kalangan pemerintahan.

BSA, sebuah aliansi bisnis piranti lunak, menganggap baik program IGOS. "Kami mendukung adanya program yang berusaha meningkatkan kesadaran pengguna bahwa mereka punya pilihan," ujar Goh Seow Hiong, Direktur Kebijakan Piranti Lunak BSA untuk wilayah Asia kepada wartawan di Hotel ShangriLa, Jakarta, Rabu (22/12/2004).

Meski demikian, BSA berharap pemerintah tidak membuat mandat yang mewajibkan penggunaan Open Source. "Hal ini akan mengekang pengguna, membatasi pilihan mereka, ini tidak positif," ujar Goh.

BSA juga tidak menginginkan pemerintah mewajibkan penggunaan piranti lunak komersial tertentu. Organisasi ini lebih berharap pemerintah mengambil peranan netral.

Kepada pemerintah, ujar Goh, BSA menganjurkan agar tidak memilih piranti lunak hanya berdasarkan model pengembangannya. Goh juga mengatakan bantuan biaya riset dari pemerintah sebaiknya bisa mengalir pada kedua belah pihak, Open Source dan selain itu.

Pengembangan piranti lunak secara Open Source berarti kode penyusun (source code) program tersebut dapat dilihat, didistribusikan dan dimodifikasi secara bebas oleh pihak lain. Kebanyakan program Open Source disebarkan secara relatif gratis dan tanpa kewajiban membayar lisensi. Contohnya, Linux.

Di sisi lain terdapat piranti lunak proprietary. Piranti jenis ini biasanya menutup kode penyusunnya dan menetapkan tarif lisensi tertentu pada penggunanya. Misalnya, Microsoft Windows.

Menurut Goh, perseteruan antara dua kubu pengembangan yang berbeda itu tidak perlu. "Keduanya memiliki keunggulan dan kekuatan masing-masing," ia menambahkan.

BSA adalah aliansi yang terdiri atas 25 anggota internasional dan anggota-anggota lokal di setiap negara. Anggota internasional BSA termasuk Microsoft, Apple Computer, IBM hingga Intel.

Sumber : detik.com

bermain dengan tar dan rpm

Artikel ini kami ambil dari sitenya pak made wiryana dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi kita semua, silahkan nikmati

Salah satu yang membingungkan para pemula di Linux adalah menginstall program. Beberapa program dikemas
dalam paket tar, tar.gz, tgz, dan juga rpm. Berikut ini diberikan informasi singkat tentang pemakaian
program tar dan rpm

Bekerja dengan TAR

tar adalah utility yang lazim digunakan di Unix untuk membuat direktori dan file menjadi satu atau dengan kata
lain mempaketkan. Nama tar sendiri berasal dari kata Tape Archiver. Banyak software untuk Linux
didistribusikan dalam bentuk tar ini, memang kini banyak yang sudah menggunakan bentuk paket yang lainnya
yaitu rpm (Red Hat Packet Manager) dan deb (Debian). Akan tetapi tidak semua sistem memiliki utility untuk
menangani rpm, dan deb ini. Tetapi bisa dikatakan semua sistem Unix memiliki utility tar ini.

File yang disimpan sebagai file tar ini lazim dikenal dengan nama file arsip (archieve file). Berikut ini adalah tip
singkat untuk menggunakan tar.

tar -xvzf
Melakukan proses pemekaran (uncompress) pada file bernama nama_file_tar dengan menggunakan
gzip, dan lalu membongkar file arsip tersebut. Proses ini biasanya dilakukan terhadap file arsip yang
memiliki ekstensi tgz atau tar.gz

tar -xvf :
Membongkar suatu file arsip tanpa melakukan pemekaran, dilakukan terhadap file arsip yang memiliki
ekstension tar

tar -tvf
Menampilkan daftar isi dari file arsip bernama nama_file_tar.

tar -cvzf
Melakukan pemaketan dari direktori_sumber dalam bentuk tar dan lalu melakukan proses
pengompresan dengan gzip. Hasil dari proses ini adalah tgz atau tar.gz.

tar -cvf
Melakukan pemaketan dari direktori_sumber dalam bentuk tar. Hasil dari proses ini adalah tar.

Bermain-main dengan RPM

Pada saat ini bisa dikatakan sebagian besar program untuk Linux didistribusikan dalam format rpm (Red Hat
Packet Format). Beberapa tips menggunakan rpm akan dijelaskan di bawah ini (pastikan anda telah memiliki
program rpm agar dapat melakukan perintah di bawah ini.

Menginstal program

rpm -U

Apabila anda pertama kali menginstall program, cobalah dulu dengan perintah : rpm -i
Apabila anda mengalami kesulitan karena keterkaitan dengan paket lainnya dapat digunakan option --nodeps.
Perhatikan tanda minus 2 kali.

Menghapus (uninstal) program

rpm -e

Mengetest apakah program terinstal dengan benar

rpm -V

Menampilkan semua nama paket yang terinstal di sistem

rpm -qa

Menampilkan informasi mengenai suatu paket

rpm -q

Menampilkan pemilik paket dari suatu file

rpm -qf

Menampilkan informasi mengenai suatu paket dan file di dalamnya

rpm -qilp

Menampilkan file konfigurasi pada suatu paket

rpm -qc rpm -qcp

Berinternet Sehat

Internet berasal dari kata inter dan networking secara umum internet dapat didifinisikan sbb :
Gabungan komputer komputer diseluruh dunia dengan menggunakan berbagai media penggubung, sehingga terbentuk suatu komunitas global yang salaing berinteraksi. Untuk lebih detail mempelajari masalah internet dapat dibaca tutorialnya di web site : http://www.cs.indiana.edu/docproject/zen/zen-1.0_toc.html.


2. Service Internet
a. WWW
WWW (World Wide Web) berdasarkan HTML (Hypertext Mark-up Language), yang merupakan bahasa scripting yang memungkinkan dokument, graphics, and multimedia digabungkan bersama. Dengan HTML dokumen dapat dipercantik dengan warna, hurup dan grafik sehingga dapat dilihat lebih indah oleh pemakai. Jika ingin tahu lebih detail dengan WWW silahkan coba link berikut ini : http://www.cio.com/WebMaster/sem2_web.html

WWW di internet dapat kita manfaatkan dengan applikasi internet yang sering disebut dengan Browser, applikasi tersebut al :
1. Intenet Explorer (lisensi)
2. Netscape (free dan lisensi)
3. Opera ( free)
4. Lynx (free)
5. Dll

b. E-Mail
E-Mail adalah singkatan dari Elektronik Mail. Dengan E-Mail kita dapat mengirimkan pesan kepada seseorang, dan si penerima dapat membalas e-mail kita kembali. Secara umum format sebuah e-mail adalah username@domain.name misalnya way@posindonesia.co.id dibaca (way at posindonesia dot co dot id), way adalah username posindonesia.co.id adalah domainnamenya. Lebih jauh tentang tutorial e-mail silahkan kunjungi site : http://www.esl-lab.com/courses/email.html
Dalam e-mail sering kita dengan istilah MUA (Mail User Agent) adalah applikasi yang dimanfaatkan untuk trasfer mail dari server ke user. Yang termasuk MUA antara lain :
1. Eudora (lisensi)
2. Outlook Expess (lisensi)
3. Opera Mail (free)
4. dll

c. FTP
FTP adalah singkatan dari File Transfer Protokol, dengan FTP memungkinkan orang atau pengguna dapat mentransfer file dari sebuah server ke pc yang dipakai. Banyak server di internet yang menyediakan pasilitas ini dengan memanfaatkan user anonymous dan password alamat mail kita dapat mentransfer file apa saja yang disediakan server. Tutorial tentang FTP dapat dibaca di : http://www.ftpplanet.com/ftpresources/basics.htm

Applikasi FTP yang sering digunakan al :
1. CuteFTP
2. Gozila
3. WsFTP
4. Dll

d. Chatt
Chatt adalah salah satu pasilitas internet yang sangat digemari oleh banyak kalangan masyarakat kita. Dengan Chatt memungkinkan kita berkomunikasi secara langsung (online) dengan teman kita dilain tempat. Saat ini chatt bukan saja hanya dapat melakukan komunikasi secara text base tapi dengan penambahan beberapa alat tertentu kita juga bisa berkomunikasi dengan gambar dan suara.
Untuk informasi chatt lebih lengkap silahkan coba link berikut ini : http://www.davesite.com/webstation/inet101/chat01.shtml

Applikasi yang sering digunakan untuk chatt al :
1. MiRC
2. ICQ
3. Yahoo Massager
4. Dll

Beberapa istilah chatt :
A/S/L Age/Sex/Location
ACK Aku Cinta Kamu
AFAIC As Far As I'm Concerned
AFAIK As Far As I Know
AFK Away From Keyboard
AMBW All My Best Wishes
AML All My Love
ASAP As Soon As Possible
ATST At The Same Time
AYSOS Are You Stupid or Something
B4 Before
B4N Bye For Now
BBL Be Back Later
BBN Bye Bye Now
BBSD Be Back Soon Darling
BF Boy Friend
BGS Bagus
BGT Banget
BLS Bales
BMV Be My Valentine
BRB Be Right Back
BT Bosan Total
BTW By The Way
BYOH Bat You Onna Head
CE Cewek
CIO Check It Out
CO Cowok
CU See You
CUL8R See You Later
CW2CU Can"t Wait to See You
DKDC Don't Know Don't Care
Eg Evil Grin
EGP Emang Gue Pikirin
EOM End Of Message
F2F Face To Face
FYI For Your Information GF Girl Friend
GL Good Luck
GOA Glad All Over
GR8 Great
GTGB Got To GO, Bye Hug
GUMLAD Gua Mau Loe Ada (Hadir)
h Hug
H&K Hug And Kiss
ILVU I Love You
IMHO In My Humble Opinion
IMSU I Miss You
JAIM Jaga Image
JJ Jalan-jalan
JK Just Kidding
K Kiss
KGN Kangen
LOL Laughing Out Loud
MM Memang
MOTOS Members of The Opposite Sex
OBTW Oh, By The Way
OIC Oh I See
OL Old Lady/ Istri
OM Old Man/Suami
PLS Please
PSSBL Possible
PV Privat
SJK Sampai Jumpa Kembali
SLMTJLN Selamat Jalan
SRI Sorry
sSi Stop SHOUTHING, Idiot !
T4 Tempat
THX Thanks
TTDJ Hati-hati di Jalan
U/ Untuk
W/O Without/tanpa
Y? Why?

3. Tips Berinternet Dengan Aman
Agar kita dapat melakuak aktipitas berinternet dengan aman tanpa mengganggu aktivitas kerja kita sehari hari dikantor berikut kami sampaikan sedikit tips berinternet yang baik dan aman.
1. Jangan membaca / mebuka e-mail dari orang yang tidak kenal
2. Jangan membuka e-mail yang berisi attach file yang berekstensi *.pif, *.eml, *. vbs, *.bat, *.svr
3. Jangan menerima dialog yang dikirim otomatis saat kita join di IRC
4. Jika reply mail di milist, hapus isi mail terdahulu yang tidak perlu
5. Jangan mengunjungi site site underground atau site site hacker karena otomatis data anda akan dilog.
6. Jangan mengunjungi site site XXX atau jangan mendownload sesuatu pada site XXX
7. Pasanglah antivirus pada PC anda. Apabila di mailserver Anda sudah dipasang antivirus, Anda tetap disarankan untuk memasang antivirus pada PC Anda, sebaiknya gunakan antivirus dari vendor yang berbeda.
8. Jangan lalai untuk meng-update data antivirus Anda. Keterlambatan bisa berakibat ketidakmampuan antivirus untuk mendeteksi virus-2 baru.
9. Ketahuilah bahwa email Anda di kantor dapat diaudit dan diawasi lalu lalangnya oleh perusahaan, karena itu sebaiknya tidak menggunakan email untuk keperluan yang sangat pribadi.
10. Anda bisa ditegur oleh Administrator apabila Anda menerima dan mengirimkan attachment file dengan ukuran besar menggunakan email account kantor Anda karena dapat membebani traffic di jaringan kantor. Oleh karena itu sedapat mungkin hindari tukar menukar file besar dengan email account kantor yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan.
11. Jangan mendaftar di situs apapun di internet (kecuali yang berhubungan dengan perusahaan dan pekerjaan Anda) dengan menggunakan email account Anda di kantor, kalau anda tidak ingin email Anda dibanjiri spam. Termasuk juga tidak meletakkan email account Anda pada situs pribadi atau situs apapun juga. Para spammers biasa mengumpulkan email address yang terdapat pada situs. Hal ini juga bisa membuat para spammers mengklasifikasi Anda pada target marketnya.
12. Jangan langsung men-delete pemberitahuan virus terbaru yang dikirimkan oleh Administrator Anda. Baca dengan teliti dan berhati-hatilah.
13. Jangan pernah mendaftarkan e-mail perusahaan anda di mailing list diluar domain anda, karena akan sangat memberatkan smtp anda.

Awas, 'Sulap' Linux Rusak CD-ROM

detikcom - Jakarta, Mandrake, distribusi Linux asal perusahaan software Mandrakesoft, Prancis, memang menggunakan nama dari pesulap legendaris Mandrake The Magician. Sayang, kali ini sulapannya berbuah malang bagi pemilik komputer dengan CD-ROM LG.

Diberitakan di situsnya, eror itu terjadi saat instalasi sitem Mandrake 9.2. Instalasi Linux akan merusak CD-ROM berbasis teknologi LG.

Ketika instalasi dilakukan, muncul pesan yang berbunyi "unable to install the base system" dilanjutkan dengan kematian CD-ROM secara fisik. Dengan kata lain: rusak!

LG Electronics, menurut Mandrakesoft, mengakui bahwa ODD (optical disk drive) buatan mereka tidak mendukung Linux dan belum pernah diuji dengan Linux. Mandrakesoft membuat daftar CD-ROM LG apa saja yang bisa dan tidak bisa menggunakan Mandrake 9.2.

Sampai saat ini, 'pembunuhan' CD-ROM LG oleh Mandrake 9.2 adalah satu-satunya kesalahan dalam instalasi 9.2 yang tidak bisa diperbaiki oleh Mandrakesoft. Tercatat 3 (tiga) kesalahan saat instalasi dan 9 (sembilan) kesalahan saat penggunaan Mandrake 9.2 yang telah teridentifikasi.

Seperti terlihat dalam situsnya, Mandrake menyediakan solusi untuk masalah-masalah lain, kecuali masalah ini. "Masalah ini belum bisa diperbaiki, dan masih dalam penyelidikan. Kerusakan terjadi ketika instalasi jaringan. Tolong jangan memasang Mandrake di sistem dengan CD-ROM LG," jelas pernyataan di situs itu.

Ada Berapa Pengguna Linux di Indonesia

detikcom - Jakarta, Jumlah pengguna linux Indonesia, yang terdaftar di situs penghitung dunia, adalah 661 orang. Sama halnya dengan penyebaran komputer yang tidak merata, pengguna Linux terkonsentrasi di DKI dan Jawa Barat.

Itu adalah statistik yang dihadirkan Situs Penghitung Linux Dunia. Menurut situs tersebut, Rabu (19/11/03), Indonesia duduk di rangking ke 135 dalam urutan pengguna Linux di dunia.

Ranking tersebut dihitung berdasarkan densitas (perbandingan jumlah pengguna Linux dengan jumlah penduduk total). Indonesia memiliki densitas 3,16 pengguna Linux per juta populasi bangsa Indonesia.

Paling banyak, pengguna Linux di Indonesia, berada di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebanyak 235 pengguna mengaku berdomisili di Jakarta dan 146 di Jawa Barat.

Di posisi ketiga Jawa Timur memiliki 84 pengguna. Sedangkan, di daerah lain seperti Bali, Banten, Jogja dan Jawa Tengah angka pengguna berkisar pada 20-an.

Ranking di Kancah Internasional
Di atas Indonesia ada Thailand yang penduduknya lebih sedikit. Karena jumlah populasi yang sedikit itu, dengan hanya 224 orang pengguna Linux terdaftar Thailand dapat menempati posisi yang lebih baik.

Karena perhitungan ranking berdasarkan densitas, tak heran kalau posisi puncak diduduki oleh Kepulauan Faroe. Kepulauan berpenduduk 46.339 orang itu memiliki 50 pengguna Linux terdaftar.

Total pengguna Linux, dari seluruh dunia, yang telah mendaftar pada situs ini adalah 135.545. Pengelola situs counter.li memperkirakan jumlah itu hanya 0,2 persen dari seluruh pengguna Linux di dunia.

Dari kuantitas, pengguna Linux terbanyak masih dari Negeri Paman Sama (27186 pengguna terdaftar). Disusul oleh negeri asalnya SuSE, Jerman dengan 11156.

Beberapa angka yang menarik ditunjukkan oleh rising star teknologi dunia. India, tempat berdirinya pusat teknologi tinggi Bangalore, memiliki 2819 pengguna. Sedang di Cina tercatat 1063 pengguna.

Karena situs counter.li.org hanya merekam pengguna Linux yang mendaftarkan diri secara sukarela, maka angka sesungguhnya masih belum diketahui. Namun, kalau anda merasa diri sebagai pengguna Linux, tidak ada salahnya mendaftar di situs tersebut.

Sumber : detik.com
Link : http://www.detikinet.com/net/2003/11/19/20031119-152102.shtml

Ada apa dengan linux live CD

Belakangan ini sering sekali kita mendengar Linux Live CD, dan tak jarang diantara kita semua punya keinginan untuk ikut mencoba coba membangun Linux Live CD.
Berikut ini adalah beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan dengan Linux Live CD.

1. Mencoba Linux tanpa harus menginstall
2. Digunakan sebagai potable desktop
3. Maintenance HD dan Recovery Data
4. Audit Jaringan
5. Menjajal s/w yang jalan di linux
6. Mengembalikan password windows yang terlupakan
7. Coba Coba bikin distro sendiri
8. Untuk Keperluan Multi media
9. Main Game
10 Scan dan tangkal virus

detail dari linux live cd bisa di cek di :
http://www.frozentech.com/content/livecd.php

"Suram, Pertumbuhan Internet Indonesia 2003"

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sempat optimis bahwa pertumbuhan pelanggan Internet Service Provider (ISP) sepanjang 2002 lalu dapat melaju sebesar 72,12% menjadi 1 juta pelanggan, bergerak dari 581 pelanggan pada 2001. Sayangnya, optimisme tersebut ternyata masih harus disimpan di bawah bantal. Dihadapkan pada hasil riset ACNielsen Indonesia terkini, APJII akhirnya harus menyerah pada kenyataan bahwa pertumbuhan pelanggan sepanjang 2002 hanya 7% saja.

Masih menurut ACNielsen, jumlah pengguna akses residensial (rumah-tangga) ternyata anjlok sebesar 6%, dari level 13% pada 2000 menjadi hanya 7% pada 2002. Seiring dengan penurunan daya beli masyarakat, lantaran naiknya biaya kehidupan sehari-hari, ditambah dengan naiknya tarif telepon, maka suram adalah kata yang tepat untuk memprediksi pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia pada 2003.

Naiknya Biaya Menggunakan Internet

Naiknya tarif telepon hingga rata-rata sebesar 33,33% pada 2003, apapun alasannya, membawa dampak turutan yang cukup signifikan, karena secara otomatis biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna Internet dial-up akan mengalami kenaikan. Hitung-hitungan mudahnya, jika pada 2002 untuk biaya pulsa telepon lokal yang harus dikeluarkan sekitar Rp 6500 per jam, maka pada 2003 nanti akan melonjak menjadi sekitar Rp 8500 per jam. Jika rata-rata biaya berlangganan akses Internet adalah sebesar Rp 3300 per jam, maka total biaya yang harus ditanggung oleh pengguna dial-up pada 2003 adalah Rp 11800 per jam. Biaya ini tentu akan semakin memberatkan para pengguna residensial. Jika pada 2002 biaya koneksi Internet Rp 9800 per jam berdampak pada anjloknya pengguna residensial sebesar 6%, maka dapat dibayangkan bagaimana dengan kondisi 2003 dengan biaya Rp 11800 per jam tersebut (biaya tersebut belum termasuk abodemen ISP sekitar Rp 20 ribu per bulan).

Para ISP pun terpaksa harus makin mengetatkan ikat pinggangnya, kalau tidak ingin menyusul kematian rekan-rekan mereka sebelumnya. Padahal, seperti kerap dikeluhkan oleh beberapa pengelola ISP, biaya langganan mereka sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan operasional, semisal sewa saluran E-1 dari Telkom, menyewa bandwidth Internet, memelihara infrastruktur dan sebagainya. Menurut mereka, menaikkan biaya berlangganan adalah cara bunuh diri yang cepat. Pelanggan akan berhamburan kabur, karena biaya koneksi Internet akan semakin mencekik. Akhirnya rata-rata ISP mematok biaya berlangganan hanya sebesar Rp 3300 per jam, dan biaya itupun tidak mengalami kenaikan sejak beberapa tahun lalu. Walhasil, tidak banyak ISP yang mampu bertahan hidup. Sebagian ada yang secara pasrah menguburkan dirinya, sebagian ada yang masih optimis berjuang.

Dari sekian banyak yang optimis ini, rata-rata menghidupi dirinya dari bisnis-bisnis sampingan non dial-up, semisal bisnis Voice over Internet Protocol (VoIP), memfokuskan diri pada pelanggan korporasi ataupun menjajakan hardware secara retail. Itupun hasilnya hanya pas-pasan untuk nafas sehari-hari, sangat minim dana yang dapat dialihkan untuk berpromosi dan melakukan pengembangan pasar. Inilah sebabnya maka pertumbuhan pelanggan Internet di Indonesia sepanjang 2002 stagnan. Pasar tidak berkembang, dan ISP yang ada hanya mengelola, atau bahkan memperebutkan, porsi kue yang itu-itu saja.

Buah Simalakama TelkomNet Instan

Sialnya, ISP yang sudah senin-kamis tersebut masih harus bersaing dengan TelkomNet Instan. Tidak usahlah kita jauh-jauh menganalisa persaingan dari sisi kemudahan dan kemurahan biaya dalam mendapatkan saluran “wajib” bagi para ISP yaitu E-1. Yang jelas kita sama-sama tahu, TelkomNet adalah anak emas Telkom, dan Telkom adalah satu-satunya penyedia E-1 di tanah air ini. Cukuplah kita menganalisa persaingan tersebut dari faktor biaya berlangganan Internetnya saja. Menurut hasil survei majalah InfoKomputer, yang juga dimuat oleh buletin TelkomNet edisi Oktober 2002, TelkomNet menguasai 50,7% pangsa pasar pelanggan ISP secara nasional.

Remah-remahnya diperebutkan oleh beberapa ISP, dengan porsi yang menguatirkan. Posisi kedua setelah TelkomNet adalah CBN dan Centrin, yang keduanya sama-sama meraih pangsa pasar sebesar 7,91%. Dengan posisi dominan tersebut, ditambah dengan kemudahan mendapatkan beragam infrastruktur dari Telkom sebagai induk semangnya, TelkomNet tentu mampu melakukan apapun untuk memperbanyak peggunanya. Jika besaran kue yang diperebutkan oleh para ISP hanya yang itu-itu saja, maka apapun langkah TelkomNet Instan akan menjadi buah simalakama.

Mengapa demikian? Ini berkaitan dengan tarif TelkomNet yang sebesar Rp 9900 per jam, sudah termasuk biaya pulsa telepon dan akses Internet, tanpa dikenakan biaya abodemen ISP. Pada 2003, tarif TelkomNet tersebut setara dengan biaya yang harus dikeluarkan pengguna Internet biasa apabila menggunaka ISP lain. Tetapi dengan keunggulan yang dimiliki TelkomNet, semisal tidak ada biaya bulanan, tanpa harus mendaftar, tagihan akses Internet disatukan dengan lembar tagihan pulsa telepon dan dapat diakses dibanyak kota melalui saluran 0809, maka pastilah TelkomNet menjadi pilihan utama dan terbukti menguasai mayoritas pangsa pasar.

Belum lagi promosi besar-besaran jasa TelkomNet oleh induk semangnya melalui beragam jalur yang tidak mungkin dilakukan oleh para ISP lain. Misalnya melalui iklan rutin di berbagai media cetak dan di sebuah acara variety show Telkomania yang tiap minggu rutin ditayangkan selama satu jam di RCTI. Tak cukup hanya itu, TelkomNet bahkan secra berkala melakukan diskon progresif hingga sebesar 40% untuk pemakaian Internet di atas 40 jam per bulan.

Jika pada 2003 ini TelkomNet tetap mematok biaya akses Internetnya pada angka Rp 9900 per jam, maka dapat dipastikan bahwa TelkomNet akan semakin digdaya lantaran jika menggunakan ISP lain para pengguna Internet akan terkena biaya Rp 11800 per jam. Dapat dibayangkan bahwa akan terjadi migrasi besar-besaran para pengguna dial-up dari ISP lain ke TelkomNet.

Menaikkan tarif TelkomNet pun ternyata bukan suatu solusi yang jitu. Pasalnya, cukup banyak yang pengguna Internet yang puas dengan pelayanan TelkomNet dengan harga yang terjangkau tersebut. Buktinya dia berhasil memperoleh penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2002 tentang Perolehan Terbaik Kepuasan Konsumen dalam kategori ISP. Oleh karena itu, TelkomNet tentu akan berpikir berulang kali jika ingin menetapkan kenaikan layanan Internetnya.

Selain ini berkaitan dengan bentuk perhatian kepada konsumen mengenai kualitas dan harga yang sepadan, tentu saja TelkomNet juga tidak akan rela apabila porsi kuenya yang sudah sebesar 50,7% tersebut berkurang nantinya lantaran lari ke ISP lain. Kalau bisa diperbesar, mengapa tidak. Tetapi yang paling penting dari pertimbangan untuk tidak menaikkan tarif TelkomNet adalah karena masih sangat banyak pengguna dial-up residensial dan warnet kelas menengah yang tergantung kepada Telkomnet. Bagi para pengguna residensial, kenaikan tarif TelkomNet ini tentu akan berdampak pada semakin enggannya mereka untuk menggunakan Internet. Berarti akan semakin anjloklah pengguna Internet dari sektor rumah tangga. Sedangkan bagi warnet kelas menengah dan menengah ke bawah, kenaikan tarif TelkomNet benar-benar suatu bencana.

Kalau warnet coba-coba menaikkan tarif sewa mereka, maka akan semakin besar kemungkinan pelanggan lari ke warnet lain yang lebih besar, yang lebih mampu mengadopsi teknologi akses Internet alternatif semisal menggunakan wireless, ADSL, cable ataupun VSAT sekalipun. Tetapi jika tarif sewa tidak mereka naikkan, ini akan memporak-porandakan cash flow mereka, lantaran mengecilnya pemasukan mereka. Apapun langkah yang akan dipilih oleh warnet, bagaikan menggali lubang kubur mereka sendiri.

Harapan Tinggal Harapan

Jelas sudah, keberadaan TelkomNet memang berpengaruh secara bisnis bagi ISP lain. Meskipun demikian, TelkomNet juga memiliki sumbangan yang signifikan terhadap komunitas Internet di Indonesia. Yang jadi inti masalahnya, perilaku berbisnis TelkomNet, yang kerap dianak-emaskan oleh Telkom, secara langsung akan berpengaruh pada peningkatan penetrasi Internet. Semakin sedikit ISP yang sehat, akan semakin kecil kemungkinan adanya anggaran pendidikan dan peningkatan potensi pengguna Internet di Indonesia. Sudah pasti, TelkomNet tidak akan mampu mengembangkan pasar seorang diri.

Apa yang dilakukan TelkomNet saat ini tidak lain hanyalah merebut porsi kue dari ISP lain, tanpa membesarkan kue atau mengadakan kue tambahan. Menurut APJII, total ada 180 ijin ISP yang telah dikeluarkan Ditjen Postel hingga 2002. Dari jumlah sebanyak itu, tidak lebih 20 buah saja yang masih bisa bertahan hidup dengan mengais rezeki dari sektor residensial. Sedangkan yang lain sudah enggan melayani pasar residensial yang tak kunjung membesar tetapi diperebutkan oleh sekian banyak ISP, termasuk Telkomnet yang sudah menguasai 50,7%. Sudah tidak ada lagi yang tersisa.

Kalau ditarik ke belakang, memang ujung dari permasalahan ini adalah mahalnya tarif telepon di Indonesia. Apapun alasan dan tujuan kenaikan tersebut, pastinya akan memukul industri Internet di Indonesia. Kalaupun kenaikan dan mahalnya tarif telepon di Indonesia adalah harga mati, sebenarnya masih ada optimisme dari para pebisnis ISP untuk dapat terus berjuang. Syarat yang mereka ajukan antara lain adalah Telkom tidak pilih kasih dan tidak mempersulit penyediaan infrastruktur E-1, TelkomNet harus disapih dari induk semangnya dan VoIP diijinkan sebagai bisnis sampingan yang bebas dan legal bagi ISP tanpa terkecuali. Harapan tinggal harapan?

Waspadai Pergeseran Tren Pengguna Internet Indonesia"

Jangan anggap remeh potensi bisnis yang dikandung oleh e-commerce. Menurut estimasi eMarketer Inc, penyedia data statistik bisnis yang berbasis di New York, revenue dari sektor e-commerce khusus untuk kawasan Asia-Pasifik saja akan membumbung tinggi, dari US$ 76,8 miliar pada akhir tahun 2001 lalu menjadi US$ 338,5 miliar pada akhir 2004 nanti. Sektor business-to-business (B2B) merupakan penyumbang terbesar, dengan estimasi sekitar US$ 300,5 miliar.

Sedangkan sektor business-to-customer (b2c) memiliki andil sebesar US$ 38 miliar. Estimasi tersebut didasarkan pula pada pertumbuhan jumlah pengguna Internet yang terus tumbuh. Pada akhir 2002, jumlah pengguna Internet di negara kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 181,5 juta orang. Sedangkan nanti pada tutup tahun 2004, diperkirakan angka tersebut akan meningkat drastis menjadi 235,8 orang.

Berangkat dari angka optimistik yang dilansir pada September 2002 tersebut, maka kawasan Asia Pasifik merupakan pangsa pasar terbesar industri e-commerce dunia. Jepang, Cina dan Korea Selatan adalah tiga negara terbesar jumlah pengguna Internetnya. Hal tersebut tidak mengherankan, berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU) dan International Data Base (IDB) US Census Bureau yang dilansir pada 2002, tingkat penetrasi Internet di Korea Selatan yang berpenduduk sekitar 47 juta jiwa tersebut adalah 51,1% (sekitar 24 juta pengguna).

Cina, meskipun penetrasi Internetnya hanya 2,6%, tetapi kuantitasnya menjadi besar karena jumlah penduduk Cina mencapai 1,2 miliar jiwa (lebih dari 31,2 juta pengguna). Sedangkan Jepang, dengan jumlah penduduk sekitar 127 juta jiwa, jumlah pengguna Internetnya mencapai 45,5% (sekitar 57,78 juta pengguna).

Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 231 juta jiwa, penetrasi Internetnya hanya 1,9% (sekitar 4,38 juta pengguna). Dengan jumlah pengguna Internet yang kecil tersebut, jangan harap Indonesia akan bisa mendapatkan porsi yang cukup besar dalam kue revenue e-commerce.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pun akan mengalami kesulitan ketika diminta meningkatkan penetrasi Internet di Indonesia. Pasalnya, nyata sekali bahwa para Internet Service Provider (ISP), yang notabene adalah anggota APJII, kurang menyadari pentingnya memperluas pasar jasa layanan mereka. Sosialisasi pemanfaatan Internet dan edukasi teknologi informasi yang dilakukan oleh ISP nyaris nihil. Kalaupun ada, sifatnya masih parsial dan ditujukan hanya untuk me-maintain pasar yang itu-itu saja. Disadari ataupun tidak, sekian banyak ISP di Indonesia berebut pasar yang kian lama kian jenuh. Walhasil, cukup banyak ISP yang tutup, menciutkan diri, mentransfer pelanggannya ke ISP lain, atau memaksa hidup kembang-kempis. Sebabnya, mereka kesulitan menambah jumlah pelanggan Internet.

APJII memang sempat optimis bahwa akan tercapai peningkatan pelanggan sekitar 1 juta orang pada 2002, dengan asumsi kenaikan sekitar 72,12% dari 581 orang pada 2001. Tetapi tampaknya telah merevisi prediksi tersebut dengan menyatakan bahwa jumlah pelanggan Internet pada 2002 akan stagnan atau seperti tahun lalu. Tidak melulu rendahnya penetrasi Internet di Indonesia merupakan tanggung-jawab APJII dan para ISP anggotanya.

Rendahnya penetrasi telepon di Indonesia misalnya, yang hanya 3% - 4% dari total jumlah penduduk, juga merupakan salah satu faktor penghambat yang signifikan. Hal lain yang cukup dominan adalah mahalnya biaya pulsa telepon. Dengan kondisi Indonesia dewasa ini, maka biaya pulsa telepon (dan kenaikannya) akan semakin menjauhkan masyarakat dari Internet dan menjadikan Internet sebagai prioritas yang terendah dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan jumlah pengguna? Meskipun tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah pelanggan, untuk jumlah pengguna tampaknya masih tetap tumbuh meskipun dengan tingkat yang sama seperti tahun lalu, yaitu sebesar 7% menurut hasil riset ACNielsen Indonesia terkini. AC Nielsen menyebutkan pula bahwa untuk 2002 ini terjadi pergeseran tempat mengakses Internet yang cukup signifikan.

Jika pada 2000 warung Internet (warnet) merupakan tempat favorit bagi 50% pengguna Internet, maka pada 2004 ini diperkirakan meningkat menjadi 64%. Peningkatan tersebut ternyata merupakan dampak dari turunnya jumlah pengguna akses rumahan menjadi 7% tahun ini, dari 13% pada 2000. Tren penurunan tersebut diikuti pula oleh pengguna akses kantoran, dari 42% pada 2000 menjadi 18% tahun ini.

Tren meningkatnya pengguna warnet perlu dicermati, karena memiliki dua sisi yang saling bertolak-belakang. Positifnya, dengan tumbuhnya para pengguna warnet, maka diharapkan para pengusaha warnet akan dapat memanen untung dan meningkatkan usahanya. Hal tersebut akan memacu para pemilik modal untuk menanamkan pundi-pundi uangnya pada bisnis warnet. Walhasil, masyarakat akan semakin menikmati mutu layanan dan biaya akses Internet yang kompetitif, seiring dengan terciptanya persaingan yang sehat antar warnet.

Semakin banyak pengguna Internet, maka akan semakin besar porsi kue revenue e-commerce dunia yang bisa direbut Indonesia.Tetapi, kita harus pula mengkaji sisi negatif dari tren tersebut di atas, karena justru akan menciutkan porsi Indonesia. Apa sebab?

Dengan meningkatnya jumlah pengguna warnet, bukan tidak mungkin para pemilik modal akan membangun warnet hanya sebagai profit center. Margin keuntungan hanya akan dihitung berdasarkan nilai nominal uang yang masuk dalam meja kasir. Warnet tidak diposisikan, setara dengan perpustakaan, yang harus dikawal, dijaga dan dirawat sebagaimana lazimnya sebuah perpustakaan misalnya. Inilah yang menyebabkan mengapa warnet pada akhirnya menjadi sentra informasi dan aktifitas apa saja, termasuk pornografi dan cyberfraud.

Tidak ada, atau jarang sekali, proposal pendirian warnet yang mencantumkan masalah analisa dampak sosial pada masyarakat sekitar terhadap berdirinya sebuah warnet dan rencana antisipasinya. Warnet yang telah berdiri pun sangat jarang yang melakukan semacam bimbingan dan arahan kepada masyarakat sekitar warnet pada umumnya, dan penyewa pada khususnya, tentang memanfaatkan Internet secara aman dan bertanggung-jawab.

Asalkan uang masuk kas lancar, tak peduli jasa akses Internet yang disewakannya tersebut digunakan untuk apa saja, termasuk untuk kejahatan sekalipun. Walhasil, sudah menjadi rahasia umum, dan kerap muncul dalam pemberitaan di media massa, bahwa para carder, sebutan bagi para pelaku cyberfraud, hampir selalu memanfaatkan warnet sebagai tempat melakukan aksinya.

Cyberfraud sejatinya dapat mengancam bisnis e-commerce Indonesia, bukan lantaran nilai nominal kerugiannya, tetapi karena citra yang ditimbulkannya. Komunitas Internet dunia sangat peduli dengan isu yang berkaitan dengan keamanan bertransaksi secara online.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PC Data Online pada 2000, dengan maraknya kasus kejahatan di Internet, 54% responden menyatakan bahwa dirinya akan mengubah kebiasaan kebiasaannya di Internet. 80% dari yang akan berubah tersebut menyatakan akan semakin jarang mengirim informasi kartu kredit melalui Internet. Sedangkan menurut hasil riset Internet terkini yang dirilis pada November 2001 oleh Pusat Kebijakan Komunikasi UCLA, dinyatakan bahwa 98,9% pengguna Internet pemula (< 1 tahun) dan 89,1% pengguna Internet berpengalaman (minimal 5 tahun) peduli dengan keselamatan data kartu kredit mereka di Internet.

Untuk kondisi di Indonesia, kita dapat merujuk pada hasil riset yang dilansir oleh MarkPlus pada 2000 lalu. Responden yang diambil sebanyak 1100 orang dari lima kota utama di Indonesia, yaitu Jabotabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Hal yang perlu digarisbawahi pada hasil survei tersebut adalah ternyata 90% dari total responden belum pernah atau enggan bertransaksi online.

Ketika ditanya kenapa mereka enggan melakukan transaksi, jawabannya antara lain: tidak percaya/kuatir (15,1%) dan tidak aman/resikonya tinggi (13,6%). Ini berarti 25,85% atau sekitar 284 dari 1100 responden yang disurvei ternyata enggan bertransaksi e-commerce karena kuatir dengan faktor keamanan bertransaksi melalui Internet.

Maka tidaklah heran, ketika ClearCommerce Inc, sebuah perusahaan e-sekuriti yang berbasis di Texas, pada awal 2002 menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara terbanyak tempat beraksinya carder, secara serta-merta banyak situs e-commerce yang melakukan collective punishment terhadap komunitas Internet Indonesia. Pemblokiran nomor Internet Protocol (IP) Indonesia, kartu kredit Indonesia hingga pemesanan yang dari dan ke Indonesia akan segera ditolak.

ClearCommerce menyatakan bahwa sekitar 20 persen dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia di Internet adalah cyberfraud, berdasarkan survey yang dilakukan terhadap 1137 merchant, 6 juta transaksi, 40 ribu customer, dimulai pada pertengahan tahun 2000 hingga akhir 2001. Collective punishment tersebut, sebenarnya secara parsial telah dilakukan oleh beberapa situs e-commerce jauh sebelum ClearCommerce mengeluarkan datanya. Sekarang, tekanan tersebut semakin telak memukul Indonesia.

Pepatah ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, pantas disandang oleh komunitas Internet Indonesia. Tetapi harus kita sadari bahwa kehadiran “nila” atau carder tersebut bukanlah serta merta muncul dari ketiadaan.. Setiap aksi kejahatan apapun, selain karena adanya niat dari si pelaku, terutama didukung pula dengan adanya peluang. Tanpa kita sadari, sikap, cara dan perilaku kita dalam berbisnis pun memiliki andil yang cukup dominan dalam memunculkan peluang tersebut.

Cracker : Sebab Akibat dan Kepastian Hukum

Masih ingat kisah cracker Dani Firmansyah? Dani yang merupakan konsultan Teknologi Informasi (TI) PT Danareksa di Jakarta, pada 17 April lalu berhasil membobol situs (cracking) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) di http://tnp.kpu.go.id dan mengubah nama-nama partai di dalamnya menjadi nama-nama "unik", semisal Partai Kolor Ijo, Partai Mbah Jambon, Partai Jambu, dan sebagainya. Tak lama berselang, pada 22 April, Dani yang juga masih terdaftar sebagai mahasiswa semester 10 di fakultas Fisipol Universitas Mumammadiyah Yogya tersebut, berhasil dicokok oleh Satuan Cyber Crime Polda Metro Jaya. Kemudian pada 18 Juni, kasusnya dinyatakan telah sudah selesai di-BAP-kan dan telah diserahkan ke pihak pengadilan.

Pihak aparat kepolisian, yang dibantu oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan dikabarkan turut pula dibantu oleh mantan anggota komunitas maya underground Indonesia, memang selayaknya mendapatkan acungan jempol lantaran berhasil melakukan serangkaian investigasi yang kental dengan dunia teknologi informasi (TI). Sebutlah semisal melakukan analisa log server dan melakukan social engineering di sebuah chatroom. Aparat Kepolisian pun mencoba mengganjar Dani dengan ancaman hukuman yang berat, yaitu penjara selama-lamanya enam tahun dan / atau denda sebesar paling banyak Rp 600 juta rupiah. Hal tersebut berdasarkan Undang-undang (UU) no. 36 / 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya pasal 22 butir a, b, c, pasal 38 dan pasal 50.

Jika kita mengacu pada klausul sebab-akibat, maka apa yang akan dihadapi Dani memang merupakan buah dari perbuatannya sendiri. Sebab dia "melakukan cracking", berakibat dirinya "diproses hukum". Simpel saja tampaknya. Tetapi jika kita memang mau konsisten dengan klausul sebab-akibat tersebut, maka kita harus paham pula bahwa perbuatannya tersebut notabene juga merupakan akibat dari suatu sebab yang telah ada sebelumnya. Maka pertanyaan yang selayaknya diajukan adalah, "ada sebab apa, yang berakibat pada berhasilnya aktifitas cracking ke situs KPU".


Motivasi

Menurut beberapa hasil pengamatan dan riset kami dari ICT Watch atas komunitas maya underground Indonesia, ada beberapa hal yang dapat menjadi sebab atas terjadinya suatu aktifitas cracking. Keempat hal tersebut kami istilahkan sebagai 3M + M2, yaitu Motivasi, Mekanisme, Momen + Miskonsepsi (Masyarakat dan Media-massa)".

Motivasi adalah adanya rangsangan yang berupa faktor pengaruh peer group, baik yang internal ataupun eksternal. Yang internal adalah, adanya motivasi dari dalam komunitas atau kelompok, seperti ajakan, hasutan ataupun pujian antar sesama rekan. Sedangkan yang eksternal, adalah motivasi yang berupa semangat bersaing antar kelompok, keinginan untuk menjadi terkenal, dan motivasi hacktivisme. Hacktivisme ini adalah suatu reaksi yang dilatar-belakangi oleh semangat para hacker ataupun cracker untuk melakukan protes terhadap suatu kondisi politik / sosial negaranya.

Tetapi jangan lupa, ada salah satu motivasi lain yang juga sifatnya eksternal, yaitu adanya semacam tantangan ataupun kepongahan dari pihak tertentu atas jaminan keamanan suatu sisten komputer. Hal tersebut dapat membangkitkan adrenalin rasa keingintahuan seorang cracker, yang memang sudah merupakan ciri khas yang inheren dalam komunitas maya underground. Lalu mekanisme yang dimaksud adalah terdapatnya server ataupun website yang lemah mekanisme pertahanannya lantaran tidak dilakukan update atau patched secara rutin dan menyeluruh. Hal tersebut sama saja dengan membuka "pintu belakang" seluas-luasnya, seolah memberikan kesempatan bagi para cracker untuk melakukan aksi deface mereka.

Hal tersebut juga didukung dengan tersedianya mekanisme sekunder yang berfungsi untuk mendeteksi kelemahan suatu sistem di Internet, yaitu berupa berbagai exploit software, yang tersedia di Internet dan dapat dengan mudah digunakan oleh para cracker yang tingkat pemula sekalipun.

Sedangkan momen di sini mengacu pada adanya suatu isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat luas, sehingga cracker ketika menjalankan aksinya akan menumpang pada isu tersebut dengan tujuan agar aktifitas deface dapat turut terekspos dengan luas. Contohnya, yaitu pada tahun 2002 lalu ketika aktifitas deface sempat memanas, lantaran para cracker menumpang pada isu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Australia.

Kemudian miskonsepsi atas keberadaan cracker dan akfititasnya di tengah masyarakat dan acapkali dipertegas oleh media massa, kerap dimanfaatkan oleh para cracker untuk menjadi terkenal atau memperkenalkan kelompoknya. Misalnya, memposisikan cracker sebagai tokoh yang heroik dan secara gegabah mempercaya klaim mereka bahwa aktifitas deface yang mereka lakukan dilandasai oleh faktor hacktivisme ataupun nasionalisme, merupakan sebuah miskonsepsi yang secara umum terjadi di tengah-tengah kita.


Sebab Akibat

Kalau ditengok dari Momen dan Miskonsepsi, tampaknya kedua faktor tersebut memang sudah "given" dari sono-nya. Momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 memang merupakan sebuah perhelatan bangsa yang menyedot perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia, sehingga memang pantaslah jika menjadi "tumpangan" para cracker ketika melakukan aksinya. Pun demikian dengan Miskonsepsi, yang merupakan faktor dengan kondisi "salah kaprah" di Indonesia. Tidak terlalu banyak yang bisa kita perbuat untuk meminimalisir terjadinya aksi deface, dengan mengutak-atik kedua faktor di atas. Tetapi untuk dua faktor lainnya, yaitu Motivasi dan Mekanisme, tampaknya "andil" KPU turut memiliki faktor yang kuat untuk memancing terjadinya aksi deface tersebut.

Menurut yang disampaikan oleh Dani, seperti dikutip oleh berbagai media massa nasional, motivasi pembobolan situs KPU itu sendiri adalah untuk mengetes sistem keamanan server penghitungan suara KPU. Masih menurut dia, kemampuan dirinya merasa tertantang setelah mendengar pernyataan Ketua Kelompok Kerja Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar'iyah di sebuah tayangan televisi yang mengatakan bahwa sistem TI Pemilu yang bernilai Rp152 miliar, sangat aman dan tidak bisa tertembus hacker. Memang, faktanya beberapa pernyataan dari KPU berkaitan dengan sistem TI Pemilu tersebut kerap dikritik oleh beberapa pengamat, lantaran cenderung bernada over PD, alias percaya diri.

Dani kemudian menjajal sistem keamanan sistem TI Pemilu, dan ternyata dia menemukan suatu kelemahan di dalam sebuah server website dengan alamat http://tnp.kpu.go.id. Rupanya KPU lalai untuk melakukan update atau patched atas sistem di alamat tersebut. Adanya mekanisme yang "bolong" tersebutlah yang dimanfaatkan oleh Dani, dengan menggunakan teknik lawas diantranya berupa SQL Injection. SQL Injection itu sendiri, pada dasarnya teknik tersebut adalah dengan cara mengetikkan string atau command tertentu pada address bar di browser yang biasa kita gunakan. Address bar adalah tempat kita biasa mengetikkan nama suatu alamat website atau URL (uniform resource locator). Dengan demikian tampaknya Dani tidak perlu harus sampai masuk ke dalam server tersebut guna mengubah data atau tampilan pada website tersebut, tetapi cukup dengan cara "merogoh-rogoh" dari luarnya saja.

Dengan melihat dari hal di atas, maka sekali lagi, kalau kita memang ingin konsisten dengan klausul sebab-akibat, maka mungkin memang sudah semestinya Dani menanggung akibat dari yang disebabkannya. Tetapi kita pun harus memahami secara utuh, bahwa apa yang dilakukan Dani, sejatinya merupakan suatu akibat dari keberadaan sebab 3M + M2 di atas, termasuk keberadaan andil KPU itu sendiri di dalamnya. Rasanya memang agak kurang tepat apabila terdapat kasus cracking terhadap situs milik masyarakat atau didanai oleh uang masyarakat, pengelolanya kemudian buru-buru mengasosiasikan dirinya sebagai "pemilik rumah" yang menjadi korban, dan menyerahkan seluruh tanggung-jawab kepada si cracker.

Padahal sudah jelas, sejatinya pihak "pemilik rumah" tersebut adalah masyarakat, yang kemudian memberikan tanggung-jawab kepada pihak pengelola untuk mengurusnya. Dengan demikian, korban yang sesungguhnya pada kasus di atas adalah justru masyarakat itu sendiri, dan tanggung-jawab seyogyanya ditanggung-renteng bersama oleh si cracker dan si pengelola, tentunya dengan porsi dan kapasitas masing-masing.


Kepastian Hukum

Pertanyaan berikutnya adalah, "apakah seorang cracker dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan undang-undang (UU) di Indonesia". Menurut pendapat dan masukan dari tim ahli hukum ICT Watch, cracker memang bisa dituntut dengan menggunakan beberapa hukum yang ada. Misalnya yang telah dilakukan oleh aparat kepolisian seperti telah disampaikan pada bagian atas tulisan ini, yaitu menggunakan UU no. 36 / 1999 tentang Telekomunikasi. Sebenarnya masih ada hukum lain yang bisa dikenakan pada seorang cracker, seperti UU no. 19 / 2002 tentang Hak Cipta. Hukum tersebut bisa saja digunakan, karena tindakan yang dilakukan oleh cracker adalah melakukan pengubahan tampilan situs (karya cipta) tanpa izin pada pemilik ciptaan tersebut Kemudian cracker bisa pula dihadapkan pada UU Hukum Pidana, khususnya pada ketentuan mengenai "perbuatan yang meresahkan masyarakat".

Namun kemudian permasalahan yang timbul adalah, sejauh mana hukum yang ada dapat membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh cracker tersebut. Dalam berbagai kasus pelanggaran ataupun kejahatan yang berbasis TI, barang bukti yang kerap diajukan adalah berbentuk data atau informasi elektronik, semisal log server, log percakapan di chatroom, tampilan situs yang terkena deface, e-mail, dan sebagainya. Faktanya, hukum di Indonesia belum mengakui bukti elektronik sebagai sebuah alat bukti pelanggaran atau kejahatan di hadapan pengadilan. Dengan demikian, penuntutan hukum kepada seorang cracker adalah satu hal, sedangkan pembuktian kesalahannya adalah hal lain.

Cara yang mungkin akan ditempuh oleh pihak kepolisian dan kejaksaan untuk "mensahkan" bukti elektronik tersebut di hadapan pengadilan adalah dengan adalah dengan cara memproses bukti elektronik tersebut hingga didapatkan hasil akhir dari sebuah sistem komputer. Logiknya adalah sederhana, yaitu input-process-output. Maka bukti elektronik tersebut dapat diubah perwujudannya dalam bentuk hardcopy, di-print misalnya, tanpa adanya modifikasi apapun dari manusia. Lalu untuk memperkuatnya, hardcopy tersebut bisa diserahkan kepada saksi ahli untuk dianalisa dan disampaikan tingkat akurasi dan kesahihannya di hadapan pengadilan. Tentu saja ini hal ini tidak mudah, karena pemahaman yang cukup tentang TI oleh para hakim, jaksa dan polisi untuk menganalisa barang bukti tersebut, mutlak diperlukan.

Selain itu, dengan rantai proses pembuktian yang relatif cukup panjang tersebut, bisa saja terdapat celah kelemahan yang dapat menggugurkan barang bukti yang ada. Jadi, proses persidangan Dani yang akan segera digelar, dapat menjadi wahana pembelajaran bagi kita bersama. Salah satunya adalah untuk menjawab pertanyaan "sejauh mana hukum dan aparat penegak hukum kita dapat mengatasi kejahatan berbasis TI".

Cyberfraud : Pertaruhan Citra Indonesia di Industri e-Commerce Global

Mungkin sepanjang 2003, bangsa Indonesia, khususnya komunitas Internet Indonesia, baik dari swasta, asosiasi, pemerintah maupun civil society, terlalu disibukkan dengan urusan masing-masing. Buktinya, warning yang disampaikan pada pertengahan 2002 lalu oleh sebuah perusahaan e-sekuriti ClearCommerce (ClearCommerce.com) yang berbasis di Texas bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara asal pelaku cyberfraud (kejahatan kartu kredit melalui Internet, juga sering disebut dengan istilah "carding") setelah Ukraina, ternyata tidak segera disikapi dengan langkah yang terintegrasi dan komprehensif. Sehingga, tidak terlalu banyak yang kemudian tahu ataupun mau peduli dengan terkucilnya citra Indonesia di mata komunitas e-commerce global dan hilangnya kesempatan Indonesia merebut kue transaksi e-commerce yang sangat potensial.

Menurut informasi yang dilansir oleh e-Asean Task Force pada pertengahan tahun 2003 lalu, mengutip data dari lembaga riset International Data Corp (IDC), diperkirakan sepanjang tahun 2004 ini nilai transaksi e-commerce global akan mencapai US$ 3,14 triliun, melesat jauh ketimbang dari tahun 2000 yang hanya berada pada posisi US$ 350,38 miliar. Khusus untuk kawasan Asia, prosentase pendapatan (revenue) yang akan dapat diraih dari transaksi e-commerce global akan mencapai 10% pada tahun ini. Adapun untuk pembagian porsi kue antara business-to-business (B2B) dan business-to-consumer (B2C) dalam e-commerce global, secara spesifik lembaga riset eMarketer menyatakan bahwa porsi B2B sebesar 87% dan B2C sebesar 13%.

Maka sudah jelas, nilai transaksi bisnis yang diusung oleh e-commerce tersebut terlalu sayang apabila tidak berhasil dicicipi oleh Indonesia, sebuah negara dengan jumlah penduduk sekitar 215 juta orang dengan pengguna Internet lebih dari 8 juta orang tersebut.

Lalu bagaimana sebenarnya citra Indonesia kini di mata industri e-commerce global? Berdasarkan laporan riset 4-bulanan "Internet Security Intelligence Brefing" yang dilansir oleh VeriSign (VeriSign.com) pada awal Februari 2004, posisi Indonesia ternyata menduduki peringkat pertama sebagai negara asal pelaku cyberfraud, dalam kategori "presentase", yaitu berdasarkan jumlah kasus cyberfraud per total keseluruhan transaksi yang berasal dari negara yang bersangkutan. Nigeria, Pakistan, Ghana dan Israel mengikuti posisi Indonesia setelahnya. Sedangkan dalam kategori "jumlah total", posisi pertama adalah Amerika Serikat, diikuti dengan Canada, Indonesia, Israel dan Inggris. Kategori "jumlah total" ini sifatnya lebih kuantitatif, karena sekedar menyebutkan jumlah kasus cyberfraud yang berasal dari negara tertentu. Tentunya melihat besar-kecilnya "jumlah total" ini masih harus diperbandingkan dengan total jumlah pemilik atau pengguna kartu kredit di negara yang bersangkutan.

VeriSign sendiri adalah sebuah perusahaan publik bidang teknologi informasi berpusat di California, yang bertugas mengurusi domain .com dan .net serta melayani infrastruktur e-sekuriti di lebih dari 400 ribu situs Internet. VeriSign sebelum melansir "Internet Security Intelligence Brefing, menyatakan telah melakukan riset atas lebih dari 54,5 juta transaksi di sejumlah toko-toko online, sepanjang penghujung tahun 2003 lalu. Data yang dikumpulkan oleh VeriSign adalah berdasarkan data nomor Internet Protocol (IP) yang digunakan dalam setiap transaksi. Seperti diketahui, setiap pengakses Internet akan memiliki memiliki identifikasi tersendiri atas setiap nomor IP yang khas di setiap negara.

Memang, dalam laporannya tersebut, VeriSign secara tegas sudah menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa carder (pelaku cyberfraud) menggunakan berbagai fasilitas untuk menyamarkan identitas aslinya, semisal menggunakan fasilitas proxy atau menjebol dan memanfaatkan infrastruktur milik Internet Service Provider (ISP) negara lain. Jadi memang bukan tidak mungkin, dibalik informasi tersebut terdapat fakta lain semisal bisa jadi kasus cyberfraud di negara lain lebih tinggi daripada di Indonesia tetapi para carder-nya lebih mampu untuk menghilangkan jejaknya. Atau bisa juga, carder Indonesia yang terlalu "lugu dan naif" dengan mengumbar nomor IP-nya, atau mungkin pula banyak mesin server di Indonesia, yang tentunya bernomor IP Indonesia pula, yang bisa disusupi dan ditebengi oleh carder luar negeri.

Segala kemungkinan, termasuk melakukan pembelaan dan pembenaran diri, sah-sah saja untuk dikemukakan. Tetapi kemudian mempertanyakan kredibilitas VeriSign ataupun menebak-nebak kepentingan di balik hasil riset mereka, tentu hanya akan berujung pada perdebatan yang tidak perlu. Termasuk meragukan validitas data dan rincian metode penelitiannya, hanya akan membawa kita terjebak pada pergumulan metodologi belaka. Yang jelas, hasil riset tersebut kini telah menjadi pemberitaan dan topik diskusi yang cukup hangat di beberapa media massa, baik di dalam maupun luar negeri.

Hasil riset tersebut juga mengentalkan kesan bahwa Indonesia tidak berbuat banyak untuk melakukan perubahan sepanjang 2002 hingga 2003 lalu, ketika posisinya "baru" pada urutan kedua setelah Ukraina. Padahal, saat itu citra Internet Indonesia sudah "digebuki" ramai-ramai oleh media massa luar negeri semisal majalah Time dan Business Week, yang turut mengutip hasil riset ClearCommerce pada saat itu. Tak cukup hanya itu, hingga saat ini nyaris semua para pengguna situs lelang kenamaan eBay.com sangat "takut" apabila bertransaksi dengan seseorang yang meminta pengiriman barangnya ditujukan ke suatu alamat di Indonesia. Bagi mereka, alamat di Indonesia sudah masuk dalam catatan black-list mereka.

Hal tersebut bisa jadi lantaran ada faktor pengaruh-mempengaruhi antara eBay.com dengan PayPal (PayPal.com). PayPal adalah sebuah perusahaan penyedia layanan transaksi sistem pembayaran kartu kredit online kenamaan, yang juga digunakan dalam sistem pembayaran di situs eBay.com tersebut. Layanan PayPal ini telah dimanfaatkan oleh lebih dari 42 ribu merchant online, dan menerima transaksi berbagai jenis kartu kredit utama dari 44 negara di dunia. Indonesia, adalah termasuk salah satu negara yang tidak masuk dalam daftar "approved countries".

Bahkan PayPal telah menegaskan bahwa pengiriman uang ke suatu negara yang tidak masuk dalam kategori "approved countries", dianggap sebagai suatu pelanggaran dan PayPal akan membatalkan account pelanggan yang melakukan hal tersebut. Melihat pada kondisi yang "memalukan" di atas, maka ada baiknya saat ini juga kita segera mencari tahu duduk permasalahannya dan kemudian memfokuskan segenap aktifitas kita pada pemulihan nama baik Indonesia di mata komunitas e-commerce global. Sebab, berperilaku dan berbisnis di dunia Internet, landasan utamanya adalah adanya kepercayaan (trust) antar para pelakunya.

Minimnya pihak internasional yang mau melayani transaksi kartu kredit online (payment gateway) bagi pemilik merchant ataupun consumer dari Indonesia, tentu akan semakin mengucilkan Indonesia. Apalagi berbagai payment gateway lokal pada bertumbangan, lantaran pihak bank di Indonesia yang menjadi mitranya enggan meneruskan kerjasama. Apalagi alasannya, kalau bukan karena tingginya tingkat resiko yang mereka hadapi lantaran cyberfraud, tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapatkan.


Kondisi Internet Indonesia

Yang kerap menjadi tudingan berbagai pihak atas maraknya aktifitas cyberfraud di Indonesia adalah longgarnya peraturan penggunaaan fasilitas warung Internet (warnet), sehingga para carder dapat dengan leluasa melakukan transaksi kartu kredit ilegal secara online di warnet. Indikasi bahwa warnet menjadi tempat favorit bagi carder untuk melakukan cyberfraud juga merupakan salah satu hasil riset kualitatif ICT Watch pada September 2003 lalu, yang mengambil sejumlah responden warnet di kota Medan, Makassar, Bandung, Jogja dan Jakarta suburban. Carder menyenangi warnet untuk lantaran belum banyak pengelola warnet yang menerapkan peraturan yang tegas bagi pelanggannya, semisal menitipkan kartu tanda pengenal (KTP) ataupun kartu mahasiswa. Pun, hanya segelintir warnet yang menyimpan data atau log aktifitas para pelanggan warnet mereka ketika berselancar di Internet.

Lalu, apakah kita bisa lepas tangan dengan sekedar menunjuk "hidung" warnet sebagai ujung tombak maraknya cyberfraud? Tidak semudah itu. Karena ini berkaitan dengan iklim industri warnet secara khusus, dan industri Internet Indonesia secara umum. Industri warnet Indonesia termasuk usaha mikro dan kecil, dengan modal awal rata-rata Rp 80 juta hingga Rp 100 juta, dengan penghasilan bersih perbulan Rp 2 juta hingga Rp 4 juta. Kini industri warnet di Indonesia kini tengah mengalami kelesuan yang amat sangat. Penyebabnya antara lain mahalnya infrastruktur telekomunikasi, terbatasnya penggunaan infrastruktur telekomunikasi alternatif, sulitnya perizinan dan kadang diikuti oleh aksi pemalakan dan sweeping oleh oknum pemerintah pusat maupun daerah berkaitan dengan penggunaan infrastruktur wireless 2,4 GHz, serta jumlah potensial pengguna akses Internet yang tidak kunjung berkembang.

Beberapa kendala tersebut, tentunya sangat mungkin mengakibatkan biaya tinggi dan persaingan yang tidak sehat antar pengusaha warnet. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sepanjang tahun 2003 lalu jumlah pengguna Internet di Indonesia tercatat sekitar 8 juta orang, naik cukup signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 4,5 juta orang. Sayangnya, kenaikan angka tersebut ternyata tidak dibarengi dengan kenaikan jumlah pengguna warnet. Masih menurut APJII, justru sepanjang 2003 tersebut telah terjadi penurunan pengguna warnet yang sangat drastis hingga hanya mencapai sekitar 3% saja dari total pengguna Internet di Indonesia.

Tentu saja hal tersebut sangat memprihatinkan, jika mengingat hasil riset AC Nielsen pada tahun 2002 lalu, yang sempat optimis meramalkan bahwa pada tahun 2003 warnet akan menjadi pilihan oleh 64% pengguna Internet. Para pengguna Internet diindikasikan mulai banyak yang beralih tempat akses dari warnet ke kantor-kantor ataupun lab komputer sekolah ataupun kampus.

Dengan kondisi yang tidak kondusif tersebut, maka menjadi dapat dimaklumi bahwa pengelola warnet akan berupaya segala macam cara untuk menarik dan mempertahankan pelanggan, demi keberlangsungan bisnis warnet mereka. Dari meningkatkan efisiensi operasional mereka, hingga melakukan diversifikasi usaha semisal membuka fasilitas game online, menggunakan teknologi alternatif, menjajakan makanan dan minuman, dan lainnya. Tetapi bisa juga dengan cara mengendurkan persyaratan penggunaan warnet yaitu dengan tidak adanya keharusan menitipkan kartu identitas apapun bagi para pelanggannya agar mereka tidak lari ke warnet lain, hingga yang paling ekstrem adalah menyediakan data kartu kredit ilegal hingga menutup mata atas terjadinya transaksi cyberfraud di warnet mereka.

Bahkan berdasarkan temuan ICT Watch saat melakukan riset pada September lalu tersebut, ternyata tidak sedikit warnet yang terpaksa harus "memelihara" keberadaan kelompok carder di warnet mereka. Apapun dilakukan, asal uang dari pelanggan tetap masuk kas untuk membiayai operasional warnet mereka sehari-hari. Menurut Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI), industri warnet di Indonesia dinyatakan tengah memasukfi fase "mati suri" dan ber"darah-darah". Maka tidaklah bijak apabila kita sekedar melemparkan masalah kepada warnet dan berharap muncul solusi dari pengusahanya. Dapur warnet bisa tetap ngebul saja, itu dianggap sudah merupakan suatu mukjizat.


Pemerintah dan Hukum

Bagaimana dengan peran penegakan hukum di Indonesia untuk mengatasi cyberfraud? Walaupun memang sepanjang 2003 kerap diberitakan adanya penangkapan dan pemrosesan secara hukum terhadap carder yang tertangkap, tetap saja jumlahnya masih ala kadarnya. Bahkan, menurut beberapa carder dalam suatu chatroom ataupun mailing-list underground, carder yang tertangkap oleh polisi adalah carder newbiee, alias carder yang masih "hijau". Sedangkan carder yang profesional, yang keberadaan dan operasional mereka tidak mudah untuk dideteksi, sangat mungkin jumlahnya sangat banyak mulai terorganisir sehingga cenderung membentuk sindikat-sindikat, yang satu dengan lainnya saling terkoordinasi dan terintegrasi.

Tentu saja, sindikat tersebut selain beranggotakan para carder dan penadah barang ilegal, diindikasikan terdapat pula keterlibatan oknum-oknum dari perusahaan pengiriman barang, kantor pos, kepabeanan, polisi dan pengelola warnet. Kondisi dan fakta di lapangan sudah sedemikian rumit, untuk dapat diselesaikan dengan niat dan perangkat hukum yang seadanya. Rancangan undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik yang secara spesifik dapat menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk mengatasi cybercrime, tak pula kunjung dilirik dan dijadikan salah satu agenda penting antara Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dengan pemerintah.

Padahal penyusunan RUU tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit, berasal dari uang rakyat, dan sempat pula menjadi ajang adu gengsi antar dua universitas negeri di Indonesia ketika masih dalam tingkat drafting dan belum di-"akur"-kan oleh Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Tetapi Kominfo pun tampaknya belum terlalu memahami kondisi nyata di lapangan. Setidaknya hal tersebut tercermin melalui pernyataannya belum lama berselang, yang lebih percaya bahwa warnet dapat menjadi ujung-tombak akselerasi peningkatan pengguna Internet di Indonesia, ketimbang menerima kenyataan bahwa para industriawan warnet ternyata harus bersusah payah untuk menolong dirinya sendiri.

Pun, sebenarnya sudah banyak aparat penegak hukum yang mendapatkan bantuan dari negara-negara sahabat untuk sejumlah pelatihan penanggulangan cybercrime. Sudah cukup banyak jaksa, pengacara, hakim hingga polisi, yang mendapatkan pengetahuan dasar tentang cybercrime. Masalahnya, seperti yang sudah-sudah, sering program tersebut tidak ada keberlanjutannya karena aparat yang dilatih tersebut dalam rentang waktu tertentu harus menjalani "tour of duty" dengan dipindahkan ke bagian atau jabatan lain yang tidak ada kaitannya dengan masalah cybercrime. Sehingga ilmu yang didapat tidak dapat diaplikasikan, dan rekan penggantinya acap kali harus belajar dari awal tentang aktifitas cybercrime. Biaya dan upaya untuk memintarkan aparat penegak hukum kita akhirnya menjadi mubazir, center for excellence untuk mengatasi masalah cybercrime pun tidak segera terwujud.


Saatnya Bertindak

Masalah ini bagaikan tak ada ujung-pangkalnya. Dan bahkan cukup banyak pendapat dari komunitas Internet Indonesia yang sudah pasrah dan menerima kondisi Internet Indonesia sebagai sesuatu yang memang sudah apa adanya dan tak layak untuk diperdebatkan. Apakah ada jalan keluarnya? Ada beberapa hal yang patut untuk dicoba, setidaknya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita sudah berupaya. Salah satunya adalah bersama dengan pemerintah, swasta, asosiasi terkait dan civil society, melakukan kampanye anti cyberfraud di warnet-warnet serta menyosialisasikan aspek etika dan hukum dalam pengelolaan bisnis warnet.

Tentu saja upaya tersebut tidak akan cukup, apabila tidak ditopang dengan perbaikan industri Internet dan warnet itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) harus sudi mengkaji masukan dari komunitas Internet Indonesia, sehingga dapat ditelurkan suatu tatanan regulasi telekomunikasi yang berpihak pada rakyat dan teknologi infrastruktur yang murah - meriah. Adapun sebagai langkah praktisnya, pengelola warnet haruslah mulai secara bertahap mempersempit ruang gerak para carder, misalnya dengan mengharuskan para pelanggan untuk menitipkan kartu identitas mereka. Kemudian warnet hendaknya dapat mencatat waktu pemakaian Internet dan menyimpan secara berkala log aktifitas penggunaan akses Internet yang tersimpan di server mereka, yang dapat berguna bagi kepentingan penyidikan oleh aparat kepolisian nantinya.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia kini perlu proaktif untuk menyusun langkah darurat mengatasi permasalahan cyberfraud ini, dan melakukan kampanye dan lobi internasional guna memulihkan nama baik bangsa dan kepercayaan dunia terhadap industri e-commerce di Indonesia, sehingga meluasnya pemblokir IP Indonesia dapat dicegah dan kalau perlu justru dikurangi, serta melakukan verifikasi atas segala temuan dari institusi dalam dan luar negeri yang memposisikan Indonesia pada status yang memprihatinkan dan memalukan dalam industri dan bisnis berbasis TI. Dan satu hal yang tak kalah pentingnya adalah agar pemerintah bersama dewan legislatif segera duduk bersama untuk membahas dan mensahkan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sampai detik ini tak jelas dimana rimbanya.

Karena bukan tidak mungkin, jika kita semua masih adem-ayem saja terhadap kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, seperti yang telah kita lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, maka citra dan nama baik Indonesia akan semakin terpuruk di mata dunia. Hal tersebut akan berakibat fatal, yaitu secara umum akan beresiko dikucilkannya Indonesia dalam dunia industri Internet global, dan secara khusus akan berakibat pada semakin sulitnya masyarakat Indonesia untuk melakukan transaksi e-commerce, UKM Indonesia akan mengalami potential lost yang sangat bersar karena tidak mampu mencicipi porsi kue transaksi bisnis e-commerce global, serta kemungkinan yang terburuk adalah enggannya para investor asing untuk bermitra dengan pengusaha e-commerce Indonesia. Kini saatnya bagi kita untuk bertindak, jangan sampai keadaan menjadi lebih buruk (dan lebih memalukan) lagi!

"Modus Operandi Penipuan Melalui Chatroom"

Suatu ketika, saya ditanya oleh seorang rekan saya di Asian Wall Street Journal, “apakah benar kini tingkat aktifitas carding di Indonesia sudah menurun?”. Carding adalah aktifitas pembelian barang di Internet menggunakan kartu kredit bajakan. Dia bertanya lantaran informasi dan data yang dia terima memang seperti itu. Saya sempat ragu menjawabnya, sebab untuk tahun lalu, Indonesia berada pada posisi ke-2 teratas sebagai negara asal carder (pelaku carding) terbanyak di dunia, setelah Ukraina. Posisi tersebut merupakan hasil riset dari Clear Commerce Inc, sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) yang berbasis di Texas, AS.

Sejurus kemudian saya mulai mengingat-ingat modus operandi para carder dan aktifitas di chatroom pada umumnya. Lalu saya jawab ke rekan saya tersebut, “kalau berdasarkan data statistik memang ada penurunan aktifitas carding, tetapi tren tersebut lantaran adanya pergeseran modus operandi,”. Saat itu, saya sendiri tidak terlalu yakin, ke arah mana pergeseran tersebut. Saya hanya yakin bahwa aktifitas tindak kriminal di chatroom itu seolah-olah menganut hukum kekekalan energi, yaitu tidak akan hilang tetapi hanya berubah wujud.

Sampai kemudian saya bersama dengan Sindu Irawan (aktifis pendidikan Jaringan Informasi Sekolah - JIS Jakarta) dan Mukhlis Ifransah (peneliti hukum pada ICT Watch dan Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi - LKHT UI) melakukan observasi lapangan ke beberapa chatroom carder serta menganalisa arsip e-mail dan log chatroom yang telah lama. Hasil observasi tersebut menunjukkan kenyataan bahwa memang ada pergeseran modus operandi yang cukup signifikan dalam aktifitas ilegal di chatroom, khususnya dalam komunitas carder.


Berikut ini ringkasan hasil observasi kami :

Pada awalnya, chatroom memang sekedar sebuah media bagi para carder untuk bertukar data kartu kredit bajakan dan berjual-beli barang hasil carding. Tetapi, setelah banyak merchant di Internet yang enggan mengirimkan paket mereka ke Indonesia, maka banyak carder yang mulai kesulitan melakukan carding. Karena “kepepet” dan terbiasa mendapatkan uang secara mudah, kemudian mereka menggeser modus operandi mereka di chatroom yaitu dengan melakukan satu jenis penipuan yang belum banyak terungkap kasusnya di Indonesia. Mereka “seolah-olah” ingin menjual atau melepas barang-barang elektronik, semisal telepon selular (ponsel) ataupun notebook, yang didapatnya dari hasil melakukan carding.

Para carder atau penjual tersebut akan menawarkan dagangannya melalui chatroom dengan keunggulan tertentu semisal “the package not even opened” (barang baru dan dus belum pernah dibuka) serta “cool prizes” (harga sangat murah dan bisa ditawar). Contohnya, sebuah notebook merek Sony VAIO yang harga aslinya mencapai Rp 15 juta, ditawarkan hanya senilai Rp 4 juta hingga Rp 5 juta saja. Kemudian ponsel Nokia seri terbaru yang harga aslinya masih Rp 6 juta, ditawarkan senilai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta saja.

Aksi promosi para penjual tersebut tidak pernah dilakukan di chatroom umum. Para penjual, termasuk para penipu, melakukan aksinya di chatroom khusus para carder. Ada banyak sekali chatroom carder, dengan puluhan hingga ratusan pengunjung perharinya. Di dalam chatroom tersebut, akan sangat mudah kita dapatkan beratus nomor kartu kredit bajakan, lengkap dengan data pemilik serta fasilitas pengecekan 3 (tiga) digit rahasia CVV2 yang hanya terdapat di bagian belakang kartu kredit dan tidak timbul (embossed).

Tentu saja dengan keunggulan yang ditawarkan oleh penjual tersebut, para pengunjung chatroom akan mudah tergiur. Kemudian pengunjung yang tertarik, atau tepatnya calon pembeli, akan melakukan private message ke nickname penjual tersebut untuk melakukan negosiasi harga. Jika telah tercapai kesepakatan, maka si penjual tersebut akan meminta kepada si calon pembeli/korban untuk mengirimkan sejumlah uang sebagai tanda jadi atau sebagai uang muka atau sebagai ongkos kirim. Besarnya relatif, dari sekitar Rp 500 ribu (US$ 50) hingga Rp 1 juta (US$ 100).

Jika calon pembeli sepakat, maka penjual akan bertukar alamat e-mail dan MSN Messanger atau Yahoo Messanger dengan calon pembeli, guna kontak lebih lanjut dan untuk bertukar alamat domisili masing-masing. Gunanya alamat domisili tersebut adalah untuk alamat pengiriman uang dan alamat pengiriman barang. Selanjutnya, penjual akan meminta kepada calon pembeli untuk segera menghubungi dirinya melalui e-mail apabila uangnya telah dikirimkan, dengan tujuan agar dirinya bisa segera mengirimkan barang yang dipesan.

Celakanya, setelah uang tersebut dikirimkan, barang yang dinanti tak kunjung datang. Maka si calon pembeli tersebut pun menjadi korban penipuan si penjual tersebut.

Jika penipuan telah terjadi, posisi korban sangatlah sulit. Korban tidak dapat atau enggan melaporkan kasus penipuan tersebut kepada aparat penegak hukum karena transaksi yang dilakukannya adalah transaksi atas barang yang ilegal, sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum. Selain itu korban akan kesulitan mengidentifikasi penipunya, karena transaksi yang dilakukannya melalui Internet dan tanpa bukti otentik hitam di atas putih. Faktor lainnya adalah belum banyaknya pihak aparat penegak hukum yang mengetahui seluk-beluk Internet, termasuk modus operandi penipuan melalui chatroom tersebut.

Untuk lebih meyakinkan dan membuktikan analisa di atas, dalam satu kesempatan, tepatnya pada minggu ke-4 Maret 2003, tim ICT Watch sepakat untuk benar-benar melakukan negosiasi dan transaksi dengan salah seorang penjual di chatroom #thacc pada server DALnet. Penjual yang menggunakan nickname “tuyulcarder” tersebut menawarkan sebuah notebook Sony dan sebuah ponsel Nokia. Melalui private message penjual tersebut mengaku dirinya saat itu sedang berada di kota Salatiga. Padahal berdasarkan analisa tim ICT Watch pada log chatroom, penjual tersebut sebenarnya menggunakan akses Internet di warnet Intersat di bilangan jalan Adisucipto - Jogja.

Meskipun demikian, tim ICT Watch terus melakukan negosiasi melalui chatting dan dilanjutkan dengan menghubungi ponselnya. Kemudian penjual tersebut menyatakan bahwa dirinya sendiri yang akan mengantarkan barang pesanan tersebut ke Jakarta pada keesokan harinya. Kemudian dia meminta untuk ditransfer sejumlah dana ke rekeningny di Bank BCA sebagai uang muka. Maka tim ICT Watch melakukan transfer sejumlah dana melalui fasilitas KlikBCA ke rekeningnya di Bank BCA dengan 3 digit awal nomor rekening tersebut adalah “456”, dengan inisial pemilik rekening tersebut adalah “BMEH”.

Akhirnya perkiraan tim ICT Watch terbukti, lantaran setelah dana tersebut ditransfer, barang pesanan tak kunjung diantarkan walaupun telah ditunggu hingga beberapa hari kemudian. Ponsel milik penjual tersebut pun menjadi tidak dapat dihubungi sama sekali.


Ada 5 (lima) fakta menarik lainnya yang berhasil ditemukan tim ICT Watch saat melakukan observasi langsung ke beberapa chatroom carder di server DALnet, yaitu:

=====
(1). Beberapa penjual akan meminta calon pembeli untuk melakukan transfer ke sebuah alamat tujuan di negara Rumania, Bulgaria bahkan India. Transfer tersebut selalu diminta melalui Western Union (WU). Para penjual akan mencoba meyakinkan calon pembeli/korban bahwa dirinya tidak akan dapat mengambil uang yang ditransfer melalui WU tanpa adanya Money Transfer Control Number (MTCN) yang dipegang oleh pengirim uang. Padahal, menurut informasi yang diperoleh ICT Watch, tidak semua negara mengharuskan para pengambil uang di WU harus menyebutkan MTCN.

(2). Selain itu, para penjual umumnya menggunakan bahasa Inggris. Walaupun demikian, dari hasil analisa log chatroom, terdapat sejumlah kejanggalan pada percakapan yang terjadi. Misalnya, ada kesan “copy-paste” terhadap jawaban dari penjual, penjual selalu terburu-buru ingin menyelesaikan negosiasi dan terkadang ada aksen-aksen bahasa Indonesia yang terselip ditengah percakapan.

(3). Yang menarik adalah keberadaan penjual yang menggunakan nickname asing, berbahasa Inggris serta menyebutkan alamat tujuan pengiriman uang ke Rumania, tetapi alamat Internet Protocol (IP) yang digunakannya adalah alamat IP milik Internet Service Provider (ISP) Centrin di Indonesia yaitu 202.146.226.xxx. Ada pula seorang penjual, yang lagi-lagi berbahasa Inggris, menyatakan dirinya berdomisili di Malaysia, tetapi beralamat IP milik kampus ITB - Bandung.

(4). Kemudian ada indikasi pula bahwa modus operandi penipuan melalui chatroom ini telah menggunakan konsep “agen” ataupun “sindikat”. Pasalnya, ditemukan fakta bahwa terdapat 2 (dua) atau lebih penjual yang berbeda, dibuktikan dengan IP yang berbeda serta secara terpisah melakukan negosiasi dengan ICT Watch dalam waktu yang bersamaan, menyebutkan sebuah alamat pentransferan dana di Rumania yang sama persis. Anehnya lagi, salah seorang dari mereka menggunakan IP Centrin.

(5). Fakta lain adalah kini ada semacam “keberanian” dari para penjual untuk bertransaksi, khususnya pada hal pentransferan dana yang sudah mulai banyak menggunakan bank dalam negeri semisal BCA, Lippo Bank ataupun Bank Mandiri. Meskipun demikian, para penjual tersebut tetap berusaha untuk mengaburkan identitas jati dirinya, dengan melakukan IP-spoofing dan/atau menggunakan warung internet (warnet) saat melakukan aksinya.
=====


Berdasarkan pada temuan fakta di lapangan tersebut, maka memang benar bahwa aktifitas carding secara kuantitatif mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan keberhasilan dari pihak yang berwenang dalam mengatasi carding, tetapi lebih disebabkan karena adanya pergeseran modus operandi kejahatan melalui chatroom dan enggannya korban melapor ke aparat penegak hukum.


Secara umum, pergeseran modus operandi tersebut adalah sebagai berikut:

=====
(a). Modus I : 1996 - 1998, para carder mengirimkan barang hasil carding mereka langsung ke suatu alamat di Indonesia

(b). Modus II : 1998 - 2000, para carder tidak lagi secara langsung menuliskan “Indonesia” pada alamat pengiriman, tetapi menuliskan nama negara lain. Kantor pos negara lain tersebut akan meneruskan kiriman yang “salah tujuan” tersebut ke Indonesia. Hal ini dilakukan oleh para carder karena semakin banyak merchant di Internet yang menolak mengirim produknya ke Indonesia. Meskipun demikian, masih terdapat pula para carder yang melakukan modus I.

(c). Modus III : 2000 - 2002, para carder mengirimkan paket pesanan mereka ke rekan mereka yang berada di luar negeri. Kemudian rekan mereka tersebut akan mengirimkan kembali paket pesanan tersebut ke Indonesia secara normal dan legal. Hal ini dilakukan oleh carder selain karena modus operandi mereka mulai tercium oleh aparat penegak hukum, juga disebabkan semakin sulit mencari merchant yang bisa mengirim produknya ke Indonesia. Meskipun demikian, masih terdapat pula para carder yang melakukan modus I dan modus II

(d). Modus IV : 2002 - sekarang, para carder lebih mengutamakan mendapatkan uang tunai. Caranya adalah dengan mentransfer sejumlah dana dari kartu kredit bajakan ke sebuah rekening di PayPal.com. Kemudian dari PayPal, dana yang telah terkumpul tersebut mereka kirimkan ke rekening bank yang mereka tunjuk. Cara lainnya adalah dengan melakukan penipuan, seolah-olah mereka menjual barang hasil carding, dan menjebak korban dengan meminta mengirimkan uang muka dalam jumlah tertentu kepada mereka. Meskipun demikian, masih terdapat pula para carder yang tetap melakukan modus I, modus II dan modus III.
=====


Adapun asumsi nilai transaksi penipuan yang terjadi tiap harinya adalah sekitar Rp 50 juta per hari. Asumsi tersebut berdasarkan hitung-hitungan sebagai berikut :

- Minimal ada 10 chatroom carder yang cukup besar di IRC, khususnya server DALnet
- Minimal di setiap chatroom tersebut terdapat 5 penipu yang rutin menawarkan barang
- Dalam setiap chatroom tersebut rata-rata terdapat 100 nickname
- Jika dari 100 nickname tersebut ada 2% saja yang tertipu tiap harinya, maka jumlah yang tertipu akan mencapai : 5 (chatroom) x 5 (penipu) x 2 (nickname) = 50 korban
- Jika tiap korban rata-rata diharuskan mentransfer Rp 1 juta, maka nilai transaksi akan mencapai Rp 50 juta / hari


Untuk menghadapi sekian banyak varian dan modifikasi modus kejahatan di Internet, maka langkah represif dan reaktif yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum tidaklah memadai. Langkah mereka tersebut harus dibarengi pula dengan serangkaian langkah proaktif dan antisipatif yang dilakukan oleh beragam institusi terkait di Indonesia. Asosiasi yang membawahi para ISP dan warnet di Indonesia harus mulai berhitung langkah yang akan diambil untuk melindungi para konsumen akhir pengguna layanan Internet mereka.

Salah satu cara yang efektif adalah dengan melakukan kampanye dan edukasi tentang ber-Internet yang aman secara komprehensif dan berkala kepada masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak segera dilakukan, maka bersiaplah kita menerima kenyataan bahwa peningkatan penetrasi Internet di Indonesia akan berbanding lurus dengan meningkatnya angka kejahatan Internet secara kuantitatif dan kualitatif. Ujung-ujungnya, hal tersebut justru akan memukul balik industri Internet itu sendiri.

"Memahami Karakteristik Komunitas Hacker : Studi Kasus pada Komunitas Hacker Indonesia"

Log In, Hack In, Go Anywhere, Steal Anything. Ungkapan tersebut terpampang mencolok di sampul VCD berjudul Swordfish, sebuah film keluaran Hollywood pada tahun 2001. Dalam film tersebut dikisahkan bagaimana seorang veteran hacker bernama Stanley Jobson (diperankan oleh Hugh Jackman) tergiur dengan iming-iming imbalan uang yang ditawarkan oleh Ginger (diperankan oleh Halle Berry) atas perintah Gabriel Shear (diperankan oleh John Travolta). Jobson yang kehidupannya nyaris bangkrut tersebut diperintah oleh Shear untuk membobol sekuriti komputer sebuah bank sentral. Melalui keahliannya meng-hacking, maka Shear berhasil memindahkan sejumlah nominal uang secara digital dari satu bank ke beberapa bank lainnya di dunia.

Apa yang digambarkan oleh film Swordfish tersebut sejatinya membiaskan makna hacker yang sesungguhnya. Pada film tersebut, hacker diidentikkan dengan seseorang yang bertangan dingin dalam mengutak-atik program komputer dan melakukan upaya-upaya penerobosan suatu sistem komputer tanpa otorisasi yang sah dengan tujuan untuk mengambil atau mencuri sesuatu. Cracker, adalah istilah yang paling tepat untuk menyebutkan profesi Jobson pada film tersebut. Sebelum kita mengupas lebih jauh tentang perbedaan hacker dan cracker, serta problematikanya di Indonesia, ada baiknya kita beberkan lebih lanjut beberapa dosa Hollywood (baca: Amerika) dalam membiaskan makna hacker dan cracker.

Kita ingat, pada tahun 1995 Hollywood mengeluarkan sebuah film berjudul Hackers, yang menceritakan pertarungan antara anak muda jago komputer bawah tanah dengan sebuah perusahaan high-tech dalam menerobos sebuah sistem komputer. Dalam film tersebut digambarkan kisah anak-anak muda yang terobsesi menembus dan melumpuhkan keamanan sistem komputer perusahaan tersebut. Penembusan sistem keamanan tersebut merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh sekelompok anak muda tersebut jika ingin bergabung dalam sebuah kelompok hacker elit. Dalam film tersebut, Angelina Jolie berperan sebagai Kate Libby alias Acid Burn.

Kemudian pada tahun yang sama keluar pula film berjudul The Net yang dimainkan oleh Sandra Bullock sebagai Angela Bennet. Film tersebut mengisahkan bagaimana perjuangan seorang pakar komputer wanita yang identitas dan informasi jati dirinya di dunia nyata telah diubah oleh seseorang, melalui jaringan Internet. Selanjutnya pada tahun 1999 diluncurkan film berjudul Take Down, mengangkat kisah nyata perburuan Kevin Mitnick (diperankan oleh Skeet Ulrich), pembobol sekuriti, oleh Tsutomo Shimomura (diperankan oleh Russel Wong), pakar sekuriti. Dalam film tersebut secara jelas diucapkan dan dituliskan bahwa Kevin Mitnick adalah seorang hacker yang melanggar hukum.

Meskipun Shimomura menegaskan kepada petugas FBI McCoy Rollins (yang diperankan oleh Tom Berenger) bahwa Mitnick adalah cracker sedangkan Shimomura adalah hacker, pada awal film tersebut tampak jelas bahwa media massa Amerika menyebut Mitnick sebagai seorang hacker. Uniknya, terdapat perdebatan norma di dalam film tersebut antara hacker dan cracker, antara Mitnick dan Shimomura. Karena pada dasarnya mereka berdua melakukan hal yang sama dalam penetrasi sekuriti. Bedanya, Mitnick melakukannya atas dasar kebebasan informasi, sedangkan Shimomura atas dasar tindakan perlindungan informasi.

Dengan keluarnya film-film versi industri Hollywood tersebut, maka eksistensi terminologi hacker semakin jauh dari yang pertama kali muncul di tahun 1960-an di MIT. Media massa Amerika pun lebih sering menggunakan istilah hacker. Sekedar contoh, pada Newsweek edisi 21 Februari 2000, pada cover depan tertulis: "The Hunt for the Hackers. Hijacking the Net. How to Protect Yourself". Di dalam majalah tersebut, terdapat 10 halaman yang mengulas tentang sekuriti dan kebijakan pemerintah Amerika pasca serangan Distributed Denial of Service (DDoS) ke situs-situs ternama. Judul utama ke 10 halaman tersebut adalah "Hunting The Hackers".

Maka kesalah-kaprahan penggunaan terminologi hacker tersebut notabene adalah berawal dari negara kelahirannya sendiri, Amerika. Kemudian masyarakat dan media massa di Indonesia pun mau tidak mau melakukan hal yang sama, menggunakan terminologi hacker yang bias dengan terminologi cracker.

Terminologi hacker muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kelompok mahasiswa tersebut merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan mereka berkutat dengan sejumlah komputer mainframe. Kata hacker pertama kalinya muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik ketimbang yang telah dirancang bersama sebelumnya.

Kemudian pada tahun 1983, analogi hacker semakin berkembang untuk menyebut seseorang yang memiliki obsesi untuk memahami dan menguasai sistem komputer. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer The 414s yang berbasis di Milwaukee AS. 414 merupakan kode area lokal mereka. Kelompok yang kemudian disebut oleh media massa Amerika sebagai hacker tersebut dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos.

Satu dari pelaku tersebut mendapatkan kekebalan karena testimonialnya, sedangkan lima pelaku lainnya mendapatkan hukuman masa percobaan. Pada tahun yang sama keluar pula sebuah film berjudul War Games yang salah satu perannya dimainkan oleh Matthew Broderick sebagai David Lightman. Film tersebut menceritakan seorang remaja penggemar komputer yang secara tidak sengaja terkoneksi dengan super komputer rahasia yang mengkontrol persenjataan nuklir AS.

Menurut James O'Brien dalam bukunya Management Information System (McGraw-Hill, 1999), hacking didefinisikan sebagai sebuah perilaku obsesif dan atau tanpa otorisasi yang sah dalam menggunakan komputer atau sistem jaringan komputer dan pelakunya disebut dengan istilah hacker. Ditambahkan pula bahwa hacker ilegal, yang kerap mencuri dan atau merusak data atau program, mencuri kartu kredit hingga mengganti tampilan suatu situs di Internet disebut dengan istilah cracker, dan aktifitasnya disebut cracking.

Secara spesifik, Richard Mansfield dalam bukunya Hacker Attack (Sybex, 2000) mendefinisikan hacker sebagai seseorang yang memiliki keinginan untuk melakukan eksplorasi dan penetrasi terhadap sebuah sistem operasi dan kode komputer pengaman lainnya, tetapi tidak melakukan tindakan pengrusakan apapun, tidak mencuri uang atau informasi. Mansfield menambahkan bahwa cracker adalah sisi gelap dari hacker dan memiliki kertertarikan untuk mencuri informasi, melakukan berbagai macam kerusakan dan sesekali waktu juga melumpuhkan keseluruhan sistem komputer.

Hacker sebenarnya memiliki kode etik yang pada mulanya diformulasikan dalam buku karya Steven Levy berjudul Hackers: Heroes of The Computer Revolution, pada tahun 1984. Kode etik hacker tersebut, yang kerap dianut pula oleh para cracker, adalah :

1. Akses ke sebuah sistem komputer, dan apapun saja dapat mengajarkan mengenai bagaimana dunia bekerja, haruslah tidak terbatas sama sekali
2. Segala informasi haruslah gratis
3. Jangan percaya pada otoritas, promosikanlah desentralisasi
4. Hacker haruslah dinilai dari sudut pandang aktifitas hackingnya, bukan berdasarkan standar organisasi formal atau kriteria yang tidak relevan seperti derajat, usia, suku maupun posisi.
5. Seseorang dapat menciptakan karya seni dan keindahan di komputer
6. Komputer dapat mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.

Mansfield menyatakan bahwa perbedaan terminologi antar hacker dan cracker terkadang menjadi bias dan hilang sama sekali dalam perspektif media massa dan di masyarakat umum. Bahkan para cracker juga tidak jarang menyebut diri mereka sebagai hacker sehingga menyebabkan citra hacking menjadi buruk. Pernyataan tersebut merupakan penguatan dari pendapat Christian Crumlish dalam bukunya The Internet Dictionary (Sybex, 1995) yang menyatakan bahwa masyarakat di luar komunitas Internet, baik media massa maupun masyarakat umum, lebih familiar menggunakan istilah hacker untuk setiap perilaku eksplorasi dan penetrasi sebuah sistem komputer yang dilakukan secara ilegal dan cenderung bersifat merugikan pihak lain.

Untuk selanjutnya, dalam artikel ini terminologi hacker yang akan dipakai akan mengacu kepada "seseorang yang melakukan penetrasi atau masuk ke dalam suatu sistem komputer tanpa otorisasi yang sah". Terminologi hacker yang dipakai tersebut merupakan terminologi yang lebih kerap digunakan oleh media massa dan dipahami masyarakat umum.


==============================
Hacker Sebagai Individu Sosial
==============================
Sebagai individu sosial, seorang hacker tidak pernah lepas dari proses interaksi sosial dengan hacker lainnya atau dengan komunitas hacker-nya. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, sehingga kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakukan individu yang lain atau sebaliknya. Dari interaksi sosial tersebut maka akan terbentuklah suatu kelompok sosial.

Kelompok sosial adalah suatu unit sosial atau kesatuan sosial yang terdiri atas dua individu atau lebih yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma yang khas bagi kelompok itu. Komunikasi antara hacker dengan hacker lainnya menggunakan sebuah media komunikasi berbasis Internet.

Winn Schawartau dalam bukunya Information Warfare (Thunder's Mouth Press, 1996) menegaskan bahwa hacker merupakan salah satu jenis individu yang menggunakan Internet sebagai media komunikasi dan media interaksi sosial antar sesama hacker lainnya. Ditambahkan pula oleh Schawartau bahwa kelompok hacker merupakan sebuah subkultur dari masyarakat yang memiliki ketertarikan yang sama dalam hal elektronis (jaringan komputer di Internet) dan antar anggotanya saling terlibat secara mental (emosional). Menurut Howard Rheingold dalam bukunya The Virtual Community (The MIT Press, 2000), Internet merupakan sebuah peluang untuk menghadirkan kembali hubungan antar pribadi yang pada saat ini intensitasnya semakin berkurang.

Di dalam Internet, perbedaan gender, usia, bangsa dan penampilan fisik tidak menjadi soal, karena memang hal tersebut tidak bisa dilihat langsung. Itulah yang menyebabkan hacker tertarik untuk menggunakan Internet sebagai sarana komunikasi dan sekaligus membentuk suatu komunitas, yaitu lantaran Internet memungkinkan hacker dapat berinteraksi dengan pihak lain tanpa harus menunjukkan jati diri sebenarnya (anonimitas / anonimity).

Joel Best dan David Luckenbill dalam bukunya Organizing Deviance (Prentice Hall, 1994) menganalisa bahwa perilaku menyimpang hacker memiliki dua setting yaitu onstage dan backstage. Onstage adalah ketika masing-masing individu beraksi sendiri melakukan hacking, sedangkan backstage adalah saat ketika para pelaku sedang tidak melakukan hacking dan mereka berkumpul untuk saling bersosialisasi dan berkomunikasi.

Berangkat dari beberapa pemahaman di atas, maka artikel ini mencoba memaparkan intisari dari tesis penulis yang berjudul "Pola Komunikasi Dalam Kelompok Hacker Dan Hubungannya Dengan Kegiatan Hacking : Studi Kasus Pada Hacker Di Indonesia", dan telah dipertahankan di hadapan sidang penguji tesis program studi Ilmu Komunikasi program pascasarjana Universitas Indonesia (UI) pada tanggal 24 Januari 2002. Tesis penulis tersebut menggunakan metodologi kualitatif dengan tipe penelitian eksploratif untuk mendapatkan pemahaman tentang pola pola komunikasi dalam kelompok hacker dan hubungannya dengan kegiatan hacking. Penulis telah menggunakan Internet, khususnya aplikasi Internet Relay Chat (IRC) sejak tahun 1996 dan berprofesi sebagai wartawan bidang TI di media online Detikcom sejak Desember 1999 hingga November 2001.

Saat di Detikcom, penulis banyak melakukan pengamatan perilaku hacker dan menulis berita tentang aktifitas hacking, sehingga mendapatkan pemahaman yang cukup mendalam tentang bagaimana sebuah komunitas maya dapat terbentuk serta dinamika kelompok hacker di Indonesia. Kemudian penulis mulai intensif mengamati chat room para hacker ketika maraknya aktifitas hacking sepanjang tahun 2000 dan tahun 2001. Sebelum menentukan hacker mana yang tepat dan bersedia diwawancara sebagai data primer tesis, penulis melakukan observasi tahap awal ke beberapa chat room hacker, serta melakukan studi literatur tentang berita-berita kegiatan hacking yang dilakukan oleh hacker Indonesia.

Beberapa chat room hacker yang diobservasi antara lain chat room #Hackerlink, #AntiHackerlink, #IndoSniffing, #Jasakom, #Betalmostdone dan #K-Elektronik. Kemudian untuk studi literatur difokuskan pada berita-berita dan artikel-artikel tentang hacker Indonesia dan kegiatan hacking yang dimuat oleh media massa Indonesia. Akhirnya penulis menetapkan tujuh hacker Indonesia yang bersedia di wawancara secara intensif melalui e-mail. (nickname hacker kami samarkan - penulis).


================================================
Karakteristik Chatroom dan Komunitas Maya Hacker
================================================
Berdasarkan hasil analisa dari data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis, terdapat fakta bahwa hacker yang memiliki atau bergabung dalam suatu kelompok hacker tertentu, ternyata menggunakan Internet Relay Chat (IRC) atau chatroom. Bukan tidak mungkin bahwa hacker yang tergabung dalam sebuah chatroom dalam jangka waktu tertentu, secara berkala dan konsisten, bisa membentuk sebuah kelompok hacker tertentu.

Nama kelompok hacker tersebut akan mengikuti nama chat roomnya, ataupun nama chatroom yang dipilih akan menyesuaikan dengan nama kelompok hacker tersebut. Nama dari sebuah chatroom akan mengidentifikasikan nama kelompok hacker tersebut, demikian pula sebaliknya, nama sebuah kelompok hacker akan mengidentifikasikan nama chatroom yang digunakan. Contohnya kelompok hacker AntiHackerlink, Jasakom dan K-Elektronik, masing-masing memiliki chatroom dengan nama #AntiHackerlink, #Jasakom dan #K-Elektronik. Ketiga chat room tersebut berada di sebuah server Internet global yang bernama DALnet.

Berikut ini adalah data-data teknis ketiga chatroom tersebut :
Info for #antihackerlink:
Founder : -------- (Anon@202.146.241.142)
Mode Lock : -m
Last Topic : http://www.research.att.com/sw/tools/uwin/ (zer0_c00l)
Description: ::..:: We Are Indonesia Hacker's Crew ::..::
Options : SecuredOps, Verbose, "Sticky" Topics
Memo Level : AOP
Registered : Sat 12/01/2001 09:53:08 GMT
Last opping: Sun 12/23/2001 09:46:56 GMT
*** End of Info ***

Info for #jasakom:
Founder : ---- (sdfgsdf@202.47.64.58)
Mode Lock : -i
Description: WWW.JASAKOM.COM
Memo Level : AOP
Registered : Tue 05/29/2001 02:30:10 GMT
Last opping: Sun 12/23/2001 09:42:37 GMT
-ChanServ- *** End of Info ***

Info for #k-elektronik:
Founder : ------------ (~XWindows@thugscript.net)
Mode Lock : +cnt-sipkR
Last Topic : | Kecoak Crew | the great way to learn (wellex)
Description: www.k-elektronik.org
URL : http://www.k-elektronik.org
Options : SecuredOps, Ident, Topic Lock(S)
Memo Level : SOP
Registered : Tue 12/04/2001 08:35:17 GMT
Last opping: Sun 12/23/2001 11:50:29 GMT
*** End of Info ***


Tampak jelas dalam data-data di atas mengenai nickname pendiri (founder), waktu didirikan (registered), deskripsi (description) chatroom, dan sebagainya. Sebuah chatroom dapat menjadi suatu perwujudan dari keberadaan sebuah kelompok sosial atau komunitas hacker. Kemampuan dan fungsi chatroom memang memungkinkan hal tersebut.

Pertama, chatroom mampu berfungsi sebagai sarana komunikasi sosial dan dapat pula menjadi manifestasi kelompok sosial itu sendiri. Kemampuan chatroom menjadi sebuah sarana komunikasi sosial karena secara teknis di dalam chatroom para chatters dapat melakukan komunikasi interpersonal (private chat) dan komunikasi kelompok (public chat). Baik private chat maupun public chat, antar pelakunya harus berada dalam satu tempat yang sama (bertemu dalam satu chatroom tertentu) dan dalam waktu yang sama pula (real time). Salah satu tahap terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak, yang bisa bersifat sekunder (menggunakan media tertentu, dalam hal ini melalui chatroom) dan langsung (tanpa perantara individu lain meskipun tidak face-to-face).

Keduam chatroom mampu menjadi sebuah kelompok sosial. Hal tersebut tak lepas pula dari karakteristik teknis chatroom itu sendiri. Pertama-tama, kita definisikan dahulu arti kata kelompok sosial. Menurut George Hillery dalam jurnal CyberSociology (www.cybersoc.com), ciri komunitas adalah adanya sekelompok orang yang saling melakukan interaksi sosial dan ada suatu persamaan yang mengikat mereka pada kelompok tersebut dan antar sesama anggota kelompok, serta mereka berbagi area tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Geoffrey Liu dalam jurnal Computer-Mediated Communication (www.ascusc.org/jcmc), menetapkan beberapa syarat terjadinya komunitas atau kelompok sosial maya, yaitu: (1). adanya ruang publik maya, (2). adanya aktifitas komunikasi dari para komunikator, (3). adanya anggota dengan jumlah besar sehingga memungkinkan terjadinya beberapa interaksi, (4). adanya kestabilan jumlah anggota dan konsistensi pemunculan anggota dan (5). adanya interaktifitas pesan verbal, pesan simulasi aksi dan konsistensi penggunaan nickname.

Di dalam chatroom, khususnya server DALnet, ada jenjang struktural dan fungsional yang baku. Jenjang pertama dan tertinggi adalah founder, super operator (SOP) dan auto operator (AOP) dan temporary operator. Keempat jabatan tersebut selain struktural, juga fungsional. Mereka secara umum disebut Operator (OP) dan menggunakan tanda "@" di depan nickname mereka. Nickname mereka secara otomatis akan berada di urutan teratas dari listname pengunjung chatroom. Ketiganya merupakan penguasa sebuah chatroom yang dapat mengundang orang lain untuk datang, mengusir paksa orang dan mengawasi setiap percakapan publik yang terjadi di chatroom.

Founder adalah pemegang akses tertinggi dalam sebuah chatroom dan hanya dipegang oleh satu orang saja. Seorang founder bisa mengangkat SOP dan AOP. SOP bisa mengangkat AOP. Pengangkatan para SOP dan AOP tersebut memerlukan pendekatan kepada atasaanya. Karena tidak jarang para chatters terpisah antar negara dan sama sekali tidak pernah bertemu satu dengan yang lainnya secara face-to-face. Pengangkatan jabatan tersebut harus berdasarkan kepercayaan dan tidak jarang dengan melakukan lobi-lobi.

Kembali ke pendapat Hillery, syarat penting terjadinya sebuah komunitas maya adalah adanya suatu persamaan yang mengikat mereka pada kelompok tersebut dan antar sesama anggota kelompok, serta mereka berbagi area tertentu dalam jangka waktu tertentu. Para anggota kelompok hacker di chatroom memiliki persaman yang mengikat yaitu anggotanya sama-sama menyatakan dirinya sebagai hacker dan memiliki tujuan untuk melakukan hacking. Mereka juga berbagi area kekuasaan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Area tersebut ialah sebuah chatroom.

Konsep area dalam chatroom ini tidak berbeda jauh dengan konsep area kekuasan dalam dunia nyata. Dalam chatroom pun ada istilah penguasa lahan (operator), perebutan lahan (channel takeover) dan intimidasi area (flooding). Ada kalanya para anggota sebuah chatroom melakukan "serangan" ke chatroom lain. Selain itu dikenal pula istilah "meminta jasa keamanan" kepada operator yang ahli, biasanya adalah operator di sebuah chatroom besar, yang dalam dunia nyata disebut sebagai God Father. Bagi chat room kecil atau yang baru memiliki anggota sedikit, tidak jarang diganggu oleh pihak yang iseng. Operator chatroom besar rata-rata memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih baik dalam mengatur sebuah channel dan mengatasi permasalahan yang timbul.

Operator tersebut kemudian diangkat sebagai SOP oleh founder chatroom kecil dan diajak untuk bergabung dalam channel kecil tersebut, walapun hanya sekedar meletakkan nickname saja. Dengan adanya God Father dari chatroom besar tersebut, maka tingkat gangguan terhadap chatroom kecil tersebut dapat dikurangi. Setidaknya membuat pihak yang ingin mengganggu tersebut harus berpikir dua kali, karena bisa saja dia yang terkena serangan balasan atau dicekal untuk masuk ke chatroom lain yang dipegang oleh God Father tersebut.

Salah satu ciri khas yang membedakan antara hacker yang tidak bergabung dengan suatu kelompok hacker tertentu dengan hacker yang memilih bergabung adalah dari kebiasaan meninggalkan "catatan" dalam tampilan sebuah situs yang telah dimodifikasi oleh hacker tersebut. Bagi hacker tanpa kelompok, dia hanya meninggalkan catatan atas nama nickname atau inisial hacker tersebut.

Salah satu contohnya adalah ketika Fabian Clone pada hari Jumat tanggal 24 Mei 2000 menembus sistem sekuriti situs Indofood.co.id dan Rekayasa.co.id, dia hanya meninggalkan pesan-pesan yang diakhiri dengan inisial "F.C.". Sedangkan bagi hacker yang berkelompok, dia akan menuliskan nama kelompoknya. Salah satu contohnya adalah ketika hC- pada hari Kamis tanggal 16 Mei 2000 menembus sistem sekuriti situs PLN-Jawa-Bali.co.id, dia meninggalkan pesan-pesan tertentu sekaligus mengucapkan salam antara lain kepada rekannya dari kelompok hacker AntiHackerlink.


Di dalam chatroom, kerap terdapat ajakan-ajakan eksplisit atau motivator-motivator untuk melakukan hacking. Salah satu contohnya adalah logs chatroom #AntiHackerlink di bawah ini :


===== Start Logs =====
Session Start: Wed Mar 21 12:38:10 2001
[12:38] *** Now talking in #antihackerlink
[12:38] *** Topic is '__4, http://www.multysistem.it/, http://www.nicastroebarone.it/ ,http://www.salvatoremirmina.it/ http://www.pensionescala.it/sakitjiwa.txt, http://www.roseeroselline.it/ http://www.cavi-vivai.it/ _ _12New TargeT _www.westernunion.com www.paypal.com _> yg bisa di akui jadi hacker sejati_ <- both of them _'
[12:38] *** Set by chikebum on Wed Mar 21 11:56:49
[12:38] #antihackerlink url is pimp.goes.to.hell.with.the.support.from._antihackerlink.org_
---cutted---
Session Time: Thu Mar 22 00:00:00 2001
---cutted---
[07:24] *** Wagimin changes topic to '_ANTIHACKERLINK IS BACK !!!_ | The Hot News seen www.westernunion.com http://www.detik.com/net/2001/03/21/2001321-114641.shtml ! || Last target www.paypal.com || [eF!] My Gift for #ANTIHACKERLINK :: http://hacked.centralbankasia.com/ [eF!]_'
---cutted---
[07:24] ANTIHACKERLINK IS BACK!
[07:24] ANTIHACKERLINK IS BACK!
===== End Logs =====


Perbedaan jam antara informasi logs tersebut dengan WIB adalah +7. Dari logs tersebut bisa dijelaskan bahwa pada pukul 19.38 WIB, Chikebum memasang topic di #AntiHackerlink yang intinya berisi ajakan atau motivasi untuk melakukan hacking ke situs Western Union salah satunya. Pada pukul 06.19 WIB keesokan harinya, dotcom- mengirimkan e-mail ke penulis yang mengatakan bahwa dia dan eF73 berhasil masuk ke server WesternUnion.com. Siang harinya berita bobolnya server Western Union tersebut dimuat oleh situs www.detik.com. Kemudian pada pukul 14.24 WIB, Wagimin, alias eF73, memasang topic di #AntiHackerlink tentang keberhasilan eF73 dan dotcom- menembus server Western Union, sekaligus memasang alamat situs berita dari Detikcom yang memberitakan keberhasilan mereka.

Sedangkan alamat situs http://hacked.centralbankasia.com merupakan salah satu tempat curahan data-data kartu kredit dari toko buku online Barners & Nobles yang sistemnya baru saja ditembus oleh AntiHackerlink. Kedua peristiwa tersebut membuat C1sc0- "bersorak" gembira. Hal tersebut merupakan contoh adanya kemungkinan melakukan tindakan persuasif atau memotivasi orang lain di dalam chatroom. Salah satu kebanggaan hacker yang membentuk kelompok maya di chatroom adalah ketika hasil hackingnya dipasang sebagai topic channel, sehingga setiap pengunjung chatroom tersebut pasti membaca isi topik. Terlebih lagi apabila di dalam topik tersebut adalah alamat situs tempat berita keberhasilannya itu dimuat.

Saling memotivasi dan saling memberikan salut merupakan hal yang lumrah dan kerap terjadi di chatroom hacker. Bukti lain bahwa chat room dapat menjadi sarana belajar belajar atau motivasi perilaku hacking adalah ketika hC-, seorang hacker Indonesia yang didenda Rp 150 juta oleh pengadilan Singapura pada tanggal 30 Agustus 2000 karena membobol jaringan komputer di Singapura, oleh Kepolisian Singapura dirinya dinyatakan menggunakan chatroom untuk mempelajari teknik penyusupan ke sebuah jaringan komputer.

Kita kembali kepada konsep Liu tentang syarat eksistensi sebuah komunitas maya., khususnya dalam hal konsistensi pemunculan anggota dan adanya interaktifitas pesan simulasi aksi. Makna pemunculan anggota di sini adalah keberadaan individu dalam sebuah area tertentu secara konsisten. Keberadaan individu tersebut dimanifestasikan dengan keberadaan sebuah nickname yang digunakan secara tetap pada sebuah chatroom secara regular dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan interaktifitas pesan simulasi aksi adalah keberadaan bahasa-bahasa verbal dalam bentuk teks atau tulisan yang memiliki makna atau dimaknai sebagai sebuah aksi yang benar-benar dilakukan.

Jika kedua hal ini digabung, maka maknanya adalah pemunculan nickname secara konsisten dalam sebuah chatroom tertentu yang antara lain dapat melakukan simulasi aksi. Simulasi aksi baru memiliki makna apabila dilakukan secara real-time kepada lawan bicara. Ungkapan "saya mencium kamu" misalnya, akan memiliki makna yang berbeda ketika disampaikan melalui chatroom dan ketika melalui e-mail.

Dalam e-mail, rasa dan makna kehadiran "pada saat itu" menjadi tidak penting. Kejadian bisa terjadi kapanpun (tidak real-time) dan dimanapun (tanpa harus bertemu di satu tempat tertentu). Kejadian apapun yang di dalam milis, termasuk simulasi aksi tersebut, tidak akan memiliki makna seperti dalam chatroom.

Dalam chatroom, rasa dan makna kehadiran menjadi sangat penting. Karena tanpa hadir dalam satu saat yang sama dan tempat maya yang sama, komunikasi dan interaksi tidak akan terjadi. Hal tersebut menjelaskan mengapa simulasi aksi tersebut dapat sedemikian bermakna di chatroom. Kejadian maupun simulasi aksi tersebut benar-benar "dilakukan" dan "terjadi" pada saat itu.

Makna "saya mencium kamu" di dalam milis bisa jadi bermakna seperti sekedar rayuan, sekedar angan, obsesi maupun bayangan. Tetapi jika di chatroom "saya mencium kamu" bisa bermakna "saya saat ini sedang mencium kamu" dan benar-benar tengah terjadi (secara virtual atau setidaknya dalam benak pelaku). Untuk itulah maka konsep-konsep tentang cybersex lebih mengacu kepada chat, ketimbang e-mail. Komunikasi interpersonal akan terasa lebih personal, intensif dan menyentuh bila terjadi secara realtime.

Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, ikatan emosi antar anggota sebuah chatroom jauh lebih kuat ketimbang antar anggota sebuah mailing-list. Hal ini menjelaskan mengapa walaupun para hacker banyak berlangganan mailing-list security, eksistensi mereka tetap dimanifestasikan dalam chatroom. Sekedar contoh, yang kerap disebut sebagai anggota hacker Jasakom bukanlah mereka yang tergabung dalam mailing-list Jasakom, tetapi lebih kepada mereka yang secara konsisten muncul di chatroom #Jasakom.