Pages

Selasa, 03 Mei 2011

Darkside of the Warnet

Sebagaimana fungsi restoran padang, tulisan yang tengah Anda baca ini memang tidak untuk menyuguhkan menu makanan sehari-hari yang biasa disantap di rumah. Anda perlu sesekali ke restoran Padang, agar lidah tidak menjadi kebal rasa dengan menu rumahan yang itu-itu saja. Tetapi hati-hati, lantaran cenderung pedas, bagi yang tidak biasa mengunyah makanan Padang akan sakit perut. Jadi berhati-hati pulalah dalam membaca tulisan ini. Apa yang Anda percaya selama ini tentang Internet yang sering disampaikan dalam berbagai seminar dan media massa, akan terdekonstruksi sedemikian rupa.

Internet kerap disampaikan dan dipercaya memiliki khasiat antibiotik untuk mengatasi berbagai problem sosio-kultur masyarakat kita. Tanpa kita sadari, kita terlalu percaya dan terlalu banyak menelan antibiotik tersebut, sehingga alih-alih menyembuhkan, Internet malah menimbulkan efek samping yang celakanya kerap kita percaya sebagai konsekuensi logis yang harus diterima. Berikut ini akan saya sampaikan beberapa dampak negatif dari Internet secara nyata, khususnya pada sektor warung internet (warnet). Bukan untuk dihindari dan disangkal, tetapi untuk direnungkan dicari jalan keluarnya.


Pornografi

Suatu sore, saya meluangkan waktu untuk beranjangsana ke rumah sahabat saya, di daerah pemukiman padat menengah-bawah, Pangkalan Jati Kalimalang, Jakarta Timur. Tak jauh dari rumah sahabat saya tersebut, berjarak sekitar 3-4 rumah, terdapat sebuah warnet. Jangan dibayangkan warnet tersebut sekelas dengan yang ada di mal-mal seantero Jakarta, atau yang terletak di kampus-kampus. Warnet ini hanya sepetak 5x5 meter, dengan 4 komputer alakadarnya yang tersambung dengan akses Internet dial-up, serta dibatasi oleh sekat triplek. Ngobrol ngalur-ngidul, menjelang tengah malam teman saya bercerita.

Beberapa kali warnet di dekat rumahnya tersebut disambangi anak-anak SMP. Anak-anak bau kencur tersebut patungan untuk menyewa sebuah komputer, dan tak berapa lama kemudian mereka asyik cekikian membuka-buka situs porno di layar monitor. Luar biasa, pikir saya. Anak-anak seusia mereka telah tahu manfaat gotong-royong dan kerjasama, untuk………… pornografi. Masih ada lagi yang menarik, cetus teman saya. Beberapa kali ada pengunjung yang sudah cukup remaja, membayar biaya sewa Internet, tetapi tidak melakukan aktifitas Internet sama sekali, entah itu browsing, chatting maupun e-mail. Usut punya usut, ternyata mereka hanya menggunakan komputer di warnet tersebut untuk menonton VCD porno yang telah mereka sewa sebelumnya!

Jangan terlalu heran. Kondisi di atas sangat jamak kita temui di warnet-warnet. Pangkal masalahnya adalah karena warnet selama ini dipropagandakan oleh para pandai Internet sebagai jembatan kesenjangan informasi antara pemilik informasi dengan yang tidak memiliki informasi. Informasi apa? Sejauh mana para pandai Internet tersebut mengetahui informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh suatu masyarakat tertentu? Hal tersebut sudah tidak lagi jadi soal penting. Kini para pemilik modal akan membangun warnet hanya sebagai profit center. Profit yang hanya berdasarkan pada jumlah nominal uang yang masuk ke meja kasir. Warnet tidak diposisikan sebagai sentra informasi setara dengan perpustakaan konvensional, yang harus dikawal, dijaga dan dirawat oleh seorang kuncen sumber pengetahuan, alias pustakawan.

Acap kali "pustakawan" Internet, kalaupun layak disebut sebagai pustakawan, tak lebih hanyalah seorang lulusan sekolah menengah dengan gaji alakadarnya dan sekedar bertugas menerima uang dari penyewa. Asalkan uang masuk kas lancar, pemilik warnet takkan peduli jasa Internet mereka digunakan untuk apa oleh penyewanya, termasuk untuk pornografi sekalipun. Menurut riset ACNielsen Indonesia pada Oktober 2002, secara signifikan terjadi pergeseran tempat mengakses Internet di masyarakat Indonesia. Jika pada tahun 2000 warnet merupakan tempat favorit bagi 50% pengguna Internet, maka pada 2004 nanti akan meningkat menjadi 64%.

Yang menarik adalah jika kita coba berkaca pada penelitian UCLA pada November 2001 tentang dampak Internet bagi masyarakat, terbukti bahwa pengguna Internet mengurangi waktu menonton TV mereka untuk mengakses Internet, tetapi tidak mengurangi waktu bersama keluarga. Fakta tersebut hanya berlaku di Amerika yang pesawat TV bukan lagi merupakan barang mewah. Tetapi jika kita tarik dalam sosio-kultur masyarakat Indonesia, khususnya di pemukiman yang berpenghasilan menengah ke bawah, maka TV masih termasuk barang mewah dan tidak semua rumah tangga saja memilikinya. Berarti "waktu nonton TV" para anak-anak dan remaja di daerah tersebut kemungkinan berupa "waktu beribadah", "waktu belajar" atau "waktu bekerja tambahan".

Jika saja Internet "dipaksa-kenalkan" kepada mereka dan mereka diminta untuk menggunakan Internet dengan alasan yang bearagam oleh para pandai Internet, maka "waktu" mana yang sekiranya akan dikurangi? Apakah waktu ber-Internet bisa menggantikan peran dan fungsi waktu belajar, waktu beribadah atau waktu bekerja tambahan? Bagaimana kalau ternyata "waktu ber-Internet" diidentikkan oleh mereka sebagai "waktu berpornografi".


Cybercrime

Oh ya, bukan hanya pornografi saja yang bersarang di warnet. Cybercrime pun tumbuh subur di Indonesia antara lain karena keberadaan warnet. Hal tersebut bukan isapan jempol, karena menurut hasil riset perusahaan e-sekuriti ClearCommerce.com yang berkantor di Texas, Indonesia dinyatakan berada di urutan kedua negara asal pelaku cyberfraud (kejahatan kartu kredit via Internet), setelah Ukraina. Ditambahkan pula bahwa sekitar 20 persen dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia di Internet adalah fraud. Riset tersebut mensurvey 1137 toko online, 6 juta transaksi, 40 ribu customer, dimulai pada pertengahan tahun 2000 hingga akhir 2001. Saya tidak terlalu heran dengan hasil riset tersebut.

Saya pernah melakukan penelitian terhadap beberapa kasus cybercrime di Indonesia, dan rata-rata pelakunya menggunakan warnet. Masih sangat jarang warnet yang meminta dan mencatat kartu tanda pengenal dari pengunjungnya, sebelum transaksi sewa-menyewa dilakukan. Alasan keengganan yang saya dapat dari sejumlah anggota mailing-list komunitas warnet ketika saya melemparkan ide pencatatan kartu tanda pengenal tersebut, adalah lantaran mereka tidak mau menambah beban kerja administratif penjaga warnet. Selain itu mereka takut para pelanggan pada kabur ke warnet saingan, karena merasa direpotkan dengan urusan pencatatan identitas diri tersebut. Warnet-warnet yang seperti inilah yang menjadi sarang yang nyaman bagi para pelaku cybercrime. Karena identitas mereka akan tetap tersembunyi, di balik kepentingan profit warnet semata.

Pada kali kesempatan lain, saya berkunjung ke sebuah warnet milik salah seorang teman saya. Warnet tersebut terletak di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Kali ini warnet tersebut tergolong cukup canggih. Terdiri atas bangunan dua lantai, dengan 20-an komputer di dalamnya. Selain menyewakan Internet, dengan akses 24 jam dari Kabel Vision, warnet tersebut juga berfungsi sebagai game center. Parahnya, penjaga warnet tersebut ternyata juga merangkap bandar, penadah dan penyalur barang-barang haram hasil carding. Carding merupakan aktifitas berbelanja segala macam barang di Internet, menggunakan nomor dan identitas kartu kredit bajakan.

Di lantai dua warnet tersebut terdapat sebuah ruangan tertutup tempat istirahat para penjaga warnet tersebut. Ketika saya diajak masuk kedalam ruangan tersebut oleh teman saya, tentunya dengan seijin pemilik warnet, maka saya seolah berada dalam sebuah butik mahal di Plaza Senayan. Dari jam tangan sampai notebook, dari kaus bola sampai PDA, yang tentunya semua bermerek luar negeri, berserakan di lantai berkarpet biru gelap. Semuanya for sale, semuanya discount up to 75%, semuanya brand new, dan semuanya barang ilegal.

Mengapa warnet menjadi tempat favorit untuk aktifitas semacam pornografi dan cybercrime? Karena seperti telah saya sampaikan sebelumnya. Para pandai Internet terlalu bersemangat mempropagandakan peran positif Internet dan warnet, sehingga mereka lalai mengkaji dampak negatif dan solusi pencegahannya. Kalaupun mereka ternyata tidak lalai, bisa jadi mereka enggan untuk menyampaikan kepada masyarakat. George Bernard Shaw, seorang filsuf dan budayawan kondang asal Inggris yang pernah mendapatkan Nobel Karya Sastra pada tahun 1925, suatu ketika menyatakan bahwa apapun profesi yang ada, para anggotanya melakukan konspirasi untuk melindungi profesi mereka agar tidak menjadi setara dengan orang kebanyakan.

Konspirasi tersebut, disadari ataupun tidak, kerap dilakukan pula oleh para pandai Internet kita. Salah satunya adalah dengan "menyembunyikan" dampak negatif Internet dan warnet. Jika mereka sampai menyampaikan hal buruk tentang Internet dan warnet kepada masyarakat, maka mereka akan dihadapkan pada kondisi yang tidak nyaman, dari sekedar penyangkalan dari sesama pandai Internet, hingga dianggap tidak melakukan keberpihakan terhadap perkembangan Internet dan warnet.

Belum lama berselang, saya melakukan oto-kritik terhadap komunitas pandai Internet Indonesia yang tergabung dalam sebuah mailing-list. Saya lontarkan wacana tentang adanya "sekte" Internet, yang tanpa disadari menjadi sedemikian eksklusifnya sehingga ketika berbicara di depan masyarakat, para anggota "sekte" tersebut kerap membawa hingga memaksakan nilai-nilai kebenaran berdasarkan kepercayaan kolektif "sekte" tersebut.

Tentu saja yang saya sampaikan tersebut bukan sekte dalam artian sebenarnya, seperti sekte Ku Klux Clan dan sejenisnya, tetapi sekedar gambaran eksklusifitas cara berpikir dan cara pandang para komunitas Internet Indonesia. Penyangkalan, itulah hal yang saya terima dari sebagian anggota mailing-list tersebut, sedang lainnya lebih memilih no comment. Memang hal tersebut sudah saya perkirakan sebelumnya. Maklum, sudah menjadi hakikat manusia untuk melakukan penyangkalan sebagai respon pertama mereka ketika dihadapkan pada sesuatu yang bertolak-belakang dengan kepercayaan yang mereka anut selama ini.


Software Siluman

Oh ya, ada hal lain yang ingin saya sampaikan kepada Anda berkaitan dengan kebiasaan menggunakan akses Internet di warnet. Jangan sembarangan Anda memilih warnet untuk tempat anda beraktifitas di Internet. Kalaupun Anda sudah memiliki tempat kepercayaan, jangan sembarangan mengetikkan aneka password, entah password e-banking maupun password e-mail, pada keyboard di warnet tersebut. Tanpa Anda sadari, Anda beresiko menjadi korban software siluman. Apa lagi itu? Konsep mudahnya, data apapun yang Anda ketikkan melalui keyboard, dapat disadap oleh siapa pun tanpa Anda ketahui.

Hal tersebut dimungkinkan dengan merebaknya software semacam Spyware atau Key Logger, yang dengan cepat dan mudah dapat didownload dan diinstal di komputer-komputer warnet oleh siapapun sebelumnya. Jika Anda menggunakan komputer yang telah terinfeksi oleh software siluman tersebut, maka setiap huruf yang anda ketik dan tampilan setiap situs yang anda buka secara diam-diam akan terkirim ke suatu alamat e-mail yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh pemasang software siluman tersebut. Yang memasang software tersebut bisa jadi para penyewa sebelumnya yang memang berniat jahil atau jahat. Sialnya, software tersebut tidak mudah dilacak keberadaannya oleh penjaga warnet dengan kemampuan dan pengetahuan pas-pasan.

Dalam suatu mailing-list cracker (black hacker) Indonesia, saya acapkali menerima beberapa posting dari orang yang mendeklarasikan keberhasilan mereka memasang software siluman di sebuah warnet tertentu. Mereka bercerita pula bahwa tiap hari mereka rutin menerima e-mail otomatis dari software yang mereka pasang, berisi data-data yang sangat "menarik". Saya penasaran, seberapa mudah sebenarnya memasang software tersebut. Beberapa bulan lalu, di suatu kesempatan, saya menyewa Internet di sebuah warnet di bilangan Cikini - Jakarta Selatan. Saya cari nama sejenis software tersebut di sebuah search engine, dan dalam sekejap di layar monitor muncul sekian puluh (bahkan sekian ratus) nama software siluman dengan fungsi serupa.

Kemudian saya pilih salah satu, saya download dan saya instal. Kemudian saya tinggal mengatur ulang software tersebut, misalnya proses apa saja yang mau saya "intip" di layar monitor tersebut (browsing, chatting, ketikkan keyboard, screen capture tayangan di layar monitor, dan sebagainya) alamat e-mail tujuan pengiriman dan frekuensi pengiriman data hasil "intipan" tersebut (bisa di-set per 1 jam, per 6 jam, per 12 jam, dan seterusnya).

Mudah juga ternyata, tepatnya mudah dan menyenangkan! Waktu yang saya butuhkan tidak lebih dari 30 menit, terhitung dari awal proses pendownloadan hingga software siluman tersebut siap "mengintip" dan mengirimkan data setiap aktifitas dan transaksi yang dijalankan di komputer tersebut ke e-mail pribadi saya. Keesokan paginya e-mail saya dibanjiri e-mail berisi, you know, data hasil "intipan" aktifitas penyewa Internet yang menggunakan komputer tersebut. Tapi untungnya, (saay tidak tahu, saiap yang diuntungkan sebenarnya), saya tidak, mungkin belum saja, tertarik untuk meneruskan aktifitas ala siluman tersebut.

Saya bukan jenis siluman jahil, dan saya takut kena e-karma. Sebab siapa tahu di komputer tersebut telah bercokol software siluman jenis lain sebelumnya, yang saya tidak tahu keberadaannya dan siapa pemasangnya. Jadi saat saya membaca e-mail di Yahoo! Dan memeriksa saldo rekening saya di suatu situs e-banking Indonesia, bisa jadi seluruh password saya akan terekam dan terkirim otomatis ke para siluman yang jahil. Sore harinya, saya kembali ke warnet tersebut dan menghapus software siluman tersebut.

Saya tidak menganjurkan Anda untuk menjadi warnet-phobia. Karena selain saya belum pernah membaca ada satu studi klinis tentang phobia tersebut, Anda bisa dianggap mengada-ada oleh para pandai Internet. Saya hanya ingin mengutip ujaran Bang Napi di SCTV, "Kejahatan itu selain didasari niat, juga ditunjang oleh kesempatan, maka waspadalah!" Kalau Anda adalah tipe orang yang gemar berwaspada, atau orang yang tidak merasakan "pedasnya" tulisan ini, maka silakan kunjungi situs http://www.natnit.net, karena di situs tersebut dapat Anda temui sekian ratus alamat warnet seantero Jakarta. Selamat bersiluman, eh, ber-Internet……….

0 komentar:

Posting Komentar