Pages

Selasa, 03 Mei 2011

"Hukum Positif Dapat Bekerja dalam Mengantisipasi Cyberporn"

Boom situs cabul! Pornografi di dunia maya lewat internet (cyberporn) terus berkembang. Karena dikhawatirkan "merusak" moral anak muda, cyberporn diatasi dengan memberlakukan hukum tertulis (hukum positif). Namun. Hal ini tidak mudah dilakukan karena butuh keberanian dan banyak kendala. Apa saja kendalanya?

Banyak yang berpendapat, hukum selalu tertinggal dalam mengikuti perkembangan teknologi yang saat ini termanifestasikan dalam media internet. Pendapat tersebut mungkin ada benarnya jika kita melihatnya hanya dari sisi teknologi saja. Padahal dalam menyikapi fenomena tersebut harus dilihat dari berbagai segi. Kesan ini membawa implikasi pada perilaku pengguna (penyedia jasa dan pemakai) internet yang akhir-akhir ini cenderung mengalami "penyimpangan" dan tidak "mematuhi" norma yang berlaku di dalam masyarakat. Cyberporn sebagai salah satu feature di internet memberikan kemudahan untuk memperoleh gambar, cerita, dan film.

Berdasarkan laporan terakhir yang dikeluarkan oleh American Demographics Magazine menunjukkan adanya peningkatan keberadaan situs porno di internet. Data itu diperoleh dari sextracker.com. Jumlah situs dewasa yang menyediakan pornografi meningkat dari 22.100 pada 1997 menjadi 280.300 pada 2000 atau melonjak 10 kali lebih dalam kurun tiga tahun!.

Keadaan ini membuat semakin banyaknya "tempat wisata" yang dapat dikunjungi oleh para pecandu situs cabul. Selain itu, memang bisnis di bidang ini cukup menjanjikan. Ini terbukti dengan tingginya transaksi di Amerika yang hampir bernilai AS$1,4 miliar pada 1998. Dapat dibayangkan berapa merosotnya moral bangsa bila cyberporn terus dibiarkan "mengobok-ngobok" generasi muda.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, keberadaan cyberporn mestinya dapat dibendung. Namun, harus pula dipikirkan cara lain yang bersifat preventif. Dalam hal ini, harus dibuat suatu prakondisi terhadap komunitas di internet untuk mematuhi hukum yang ada, baik tertulis ataupun tidak tertulis.


Tiga perspektif

Tidak bekerjanya hukum dalam menghadapi cyberporn, salah satunya karena sempitnya kita memandang fenomena cyberporn tersebut. Pendekatan yang dilakukan selama ini masih bersifat teknis dan sektoral. Padahal seharusnya tidak demikian halnya. Sudah saatnya cyberporn ini ditinjau dari tiga prespektif, yaitu, teknologi (technic), bisnis (bussiness), dan masyarakat (sosio). Bila kita hanya memandang dari sisi teknologi dan bisnis, selamanya hukum tidak akan dapat bekerja efektif dalam mengatasi gejala yang timbul di dalam masyarakat. Memberlakukan suatu ketentuan hukum, tidak terlepas dari keadaan masyarakat (keadaan sosial) setempat. Belum lagi adanya hukum tertulis tidak menyebabkan kejahatan dalam internet, termasuk pornografi, menjadi tidak "tersentuh" oleh hukum.

Harus diingat bahwa hukum tidak selalu tercermin dalam keputusan penguasa (peraturan), tapi dapat berupa kesepakatan yang terjalin selama koneksi internet berlangsung. Kendalanya, memang "kesepakatan" tadi tidak memiliki kekuatan memaksa dan memuat sanksi pidana. Bagi pelanggarnya atau pelakunya, sulit dimintakan pertanggung-jawaban secara pidana jika hanya berlandaskan pada norma belaka.

Memberlakukan hukum tertulis (hukum positif) dalam kasus pelanggaran internet, khususnya cyberporn ini, dapat berpijak pada kaidah yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Siapa yang menyangkal bahwa cyberporn itu tidak melanggar moral dan etika. Satu dari lima responden mengatakan bahwa pornografi di internet (cyberporn) melanggar rasa kesusilaan. Setelah itu, baru kita lihat peraturan lokal (hukum positif) yang berkaitan dengan pornografi. Internet menjadikan dunia tanpa batas dan menjadikan ruang dan waktu bukanlah kendala dalam berhubungan satu dengan yang lain. Timbul satu masalah, hukum mana yang akan diberlakukan atas tindak pidana di internet. Pasalnya, setiap negara mempunyai ketentuan yang berbeda.


Hukum mana yang berlaku

Tidaklah sederhana menerapkan aturan hukum terhadap pelaku yang terlibat dalam cyberporn. Hal ini mengingat internet bersifat lintas batas wilayah. Banyak pihak yang bersinggungan satu dengan yang lain dan ini akan menyulitkan dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Karena itu, harus dicari solusi agar pelaku yang terlibat dalam cyberporn dapat dihadirkan ke meja hijau.Maraknya situs-situs porno tersebut sebenarnya telah "mengganggu" kesusilaan dunia internasional. Di Amerika misalnya, sudah ada beberapa organisasi non-pemerintah (NGO) yang melakukan upaya guna membendung pemekaran cyberporn. Kita melihat bahwa pornografi ini bersinggungan dengan dengan peraturan (hukum) di mana situs porno itu dapat diakses.

Hukum mana yang berlaku sebenarnya tidaklah sesulit seperti yang berlangsung selama ini. Ambil contoh di Indonesia, pondokputri adalah salah satu situs yang menyediakan gambar dan cerita porno. Untuk melihat peraturan atau hukum mana yang berlaku, dapat memulainya dengan menelusuri status kepemilikan dari situs tersebut. Kemudian setelah diketahui pemiliknya, dapat ditelusuri status kewarganegaraannya. Meskipun situs porno tersebut di-hosting di luar negeri, hal ini tidaklah kemudian membebaskan pelaku dari tanggung jawab pidana. Status kepemilikan yang berujung pada status kewarganegaraan tentunya tidak dapat dilepaskan dalam pergaulan sehari-hari. Artinya, status kewarganegaraan melekat di manapun orang itu berada.

Sedikit ilustrasi, seorang Badu yang berkebangsaan Indonesia ditemukan sebagai pemilik situs porno. Nah, di manapun Badu berada, yang bersangkutan tetap terikat (tunduk) pada hukum negaranya. Dalam hukum pidana, status penundukan ini dikenal dengan prinsip nasionalitas aktif.
Pada Pasal 5 KUHP dijelaskan, pelaku tindak pidana adalah orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia. Maka terhadap pelaku, dapat ditarik dengan mengunakan hukum pidana kita. Memang dalam pasal tersebut, disyaratkan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana di negara lain.

Dari ilustrasi di atas dapat diterapkan juga untuk situs yang lainnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaku yang terlibat dalam penyajian gambar, cerita, film porno dalam cyberporn ini dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku (hukum positif) sesuai dengan status kewarganegaraan dari pemilik perusahaan itu berada. Kemudian juga dimungkinkan bagi warga asing yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia untuk dipidana dengan menggunakan hukum pidana Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip nasionalitas pasif.

Yang harus dilakukan jika kita ingin menggunakan hukum Indonesia untuk menjaring pelaku luar negeri adalah melakukan perjanjian ektradisi dengan negara asal pelaku. Pasalnya, dalam proses penyelidikan dan penyidikan, cyberporn tidaklah bisa dilakukan sendirian dan perlu dilakukan koordinasi dengan interpol, FBI, dan yang lainnya.


Sulit diterapkan

Namun pada prakteknya, prinsip-prinsip di atas sulit untuk diterapkan. Hal ini mengingat masih sedikitnya sumber daya di bidang hukum yang memahami masalah teknologi informasi, khususnya mengenai investigasi terhadap tindak pidana dengan menggunakan internet. Cyberporn adalah satu dari sekian banyak kejahatan yang sampai saat ini sulit untuk "dipagari". Pemberantasan atau pembatasan ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan mengefektifkan (mengoptimalkan) peraturan hukum yang ada dengan melakukan penafsiran atas ketentuan yang ada di dalam KUHP.
Kedua, dengan mengefektifkan fungsi keluarga dalam memberikan pemahaman/pendidikan seks agar lebih terarah. Cara kedua tidak akan dibahas lebih lanjut. Yang terpenting adalah bagaimana agar hukum (peraturan) yang ada berjalan optimal. Keberlakuan hukum dalam masyarakat tentunya tidak terlepas dari masyarakat itu sendiri (sosiologis), terutama bagaimana masyarakat memandang cyberporn itu sendiri. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semuanya biarlah masyarakat yang menentukan. Baik dan buruk, melanggar susila ataupun tidak, masyarakatlah yang menentukan mengenai kriteria tersebut.

Menurut survei yang pernah dilakukan oleh Forester Research pada awal tahun 90-an, hampir 80% lalu lintas internet selalu mengarah ke situs-situs dewasa (porno). Dari survei tersebut menunjukkan masyarakat internet begitu "menikmati" hadirnya situs-situs dewasa tersebut.
Keinginan untuk mematuhi dan menerapkan peraturan bergantung kepada masyarakat. Masyarakat bertindak sebagai subyek yang berperan untuk membentuk (rekayasa) hukum. Hukum dibuat dan dipatuhi oleh masyarakat berdasarkan apa yang dianggap "baik" oleh masyarakat. Secara filosofis, apa yang dianggap "baik" tadi tercerminkan di dalam pergaulan kehidupan sehari-hari dan direduksi sebagai apa yang akan dipatuhi sebagai aturan.

Masih dalam kerangka keberlakukan hukum, secara yuridis layaknya pembentukan hukum tidak terlepas dari apa yang diinginkan dan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat. Hukum tidak akan menjadi hukum yang mati karena telah sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang di cita-citakan oleh masyarakat. Tiga syarat keberlakukan hukum (sosiologis, filosofis, yuridis) tadi dapat dijadikan satu acuan dalam memberlakuan (menerapkan) hukum positif yang ada, terutama dalam memagari cyberporn agar situs internet dimanfaatkan untuk hal yang lebih baik.


Butuh keberanian

Mengefektifkan hukum (hukum positif) bukan langkah yang mudah karena untuk itu dibutuhkan keberanian. Keberanian di sini berkaitan dengan cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang ada. Karena disadari, memang menafsirkan undang-undang bukanlah pekerjaan yang sederhana.
Menerapkan peraturan (materil) terhadap suatu peristiwa yang belum atau tidak dikenal sebelumnya dibutuhkan suatu penafsiran atas undang-undang yang ada. Dengan menafsirkan cyberporn layaknya pornografi yang dikenal dalam dunia nyata, peraturan yang berkaitan dengan pornografi dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana ini.

Mungkin terkesan dipaksakan, tetapi apa mau di kata cyberporn telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi komunitas internet dan perkembangannya saat ini terlihat sangat memprihatinkan.
Ada doktrin dalam hukum pidana yang mengatakan: "tiada pidana tanpa suatu kesalahan" (azas legalitas). Tidak ada peristiwa pidana jika di dalam undang-undang tidak menyebutkan kesalahan terlebih dahulu, sering menjadi "pagar" bagi penegak hukum kita untuk menerapkan aturan. Padahal jika kita menilik pada azas yang lain, seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada peraturannya. Di sini terjadi kontradiksi, satu sisi undang-undang melarang adanya penafsiran, tetapi di sisi lain hakim dibebani untuk "membuat" aturan.

Artinya di sini, tidak berjalannya ketentuan hukum (hukum positif) dalam "memagari" cyberporn bukan disebabkan oleh lemahnya peraturan yang ada. Tidak bekerjanya peraturan (hukum) yang ada dikarenakan tidak adanya keberanian untuk menerapkan peraturan yang ada. Padahal bila kita lihat dalam kehidupan nyata, banyak peraturan yang mengatur masalah pornografi, misalkan UU HAM, UU Pers, dan KUHP Sebagai penegasan, cyberporn bukanlah sosok yang kebal hukum. Pelakunya tetap dapat dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hukum positif yang ada tetap akan berlaku efektif jika penegak hukum berani melakukan "modifikasi" hukum. Perkembangan teknologi tidaklah menjadikan hukum yang ada tidak bekerja. Cyberporn hanya ekses dari perkembangan teknologi itu sendiri. Tidak ada yang berubah, kecuali media penyampaiannya. Subtansinya tetaplah sama, pornografi.

0 komentar:

Posting Komentar