Pages

Selasa, 03 Mei 2011

"Sensor Internet, Upaya Sia-sia Meredam Pornografi"

Belakangan, gencar isu akan dilakukan sensor terhadap internet sebagai media publik. Gagasan ini justru berangkat dari berbagai organisasi masyarakat yang dengan lantang menyuarakan perang terhadap pornografi. Mereka beranggapan bahwa internet adalah "sarang" pornografi. Lalu jalan satu-satunya untuk meredam pornografi internet adalah melakukan sensor dengan cara melakukan filterisasi terhadap situs-situs porno. Namun, masalahnya menjadi tidak sederhana. Karena ternyata, pengalaman di beberapa negara yang melakukan filterisasi ternyata tidak sepenuhnya membuahkan hasil. Secara teknologi, sangat mungkin melakukan filterisasi pada ISP (internet service provider) bahkan juga pada backbone.

Namun bila pemerintah selaku pengambil kebijakan tidak berhati-hati dalam menelurkan kebijakan, bukan tidak mungkin akan menghambat masyarakat dalam mengakses informasi. Jika kebijakan yang dibuat hanya berpijak pada satu sisi, imbasnya tidak hanya informasi pornografi saja yang terkena dampaknya, tapi juga informasi lainnya. Beberapa software bisa di-download untuk mengontrol laju informasi, tetapi tidak membatasi kesempatan dan kebebasan untuk memperoleh informasi pada internet.

Misalkan filter yang berbayar, www.cyberpatrol.com , www.cybersitter.com , www.netnanny.com . Namun di samping itu, ada beberapa software yang bisa di-download gratis seperti, www.we-blocker.com , www.safekids.com , dan masih banyak lagi. Dengan software tersebut, situs-situs yang masuk dalam kategori porno tidak bisa diakses oleh pengguna. Namun secanggih-canggihnya teknologi, tetap saja buatan manusia dan tetap memiliki kelemahan. Demikian juga dengan sensor terhadap pornografi internet, tetap saja pengguna akan menemukan jalan untuk mengakses informasi tersebut.


Perdebatan semantik

Masalahnya, kembali pada kebijakan mana yang dipilih oleh si pengguna untuk menyiasati pornografi internet. Pengguna di sini, termasuk di dalamnya pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut akan menjadi faktor penentu dalam kegiatan internet di Indonesia. Hingga kini, belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengontrol kegiatan internet, terutama yang berkaitan dengan content porno. Dalam setiap diskusi mengenai hal ini, selalu berujung pada perdebatan semantik yang melulu didasarkan pada keyakinan dari masing-masing kelompok.

Beberapa situs penyedia software mungkin akan membatasi dan mampu meredam seseorang untuk mengakses situs porno. Namun, masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sensor hanyalah sebuah mekanisme untuk mengontrol pornografi dan bukan menghilangkan pornografi itu sendiri. Satu hal yang perlu dipertegas adalah apa yang akan dan harus diatur kemudian dalam undang-undang yang memiliki ketegasan sekaligus menjamin hak kebebasan publik untuk mengakses informasi.

Kuncinya, jangan sampai undang-undang pornografi nantinya akan membatasi pengguna internet lain yang tidak mengakes situs-situs porno. Karena itu, perlu dicari satu titik moderat bagaimana menyikapi pornografi internet tanpa harus membatasi aktifitas internet itu sendiri. Selaku regulator, pemerintah cukup memberikan panduan bagi masyarakat, khususnya pengguna internet. Terutama, dalam memberikan satu pendidikan bagi masyarakat untuk menggunakan internet sebagaimana mestinya. Pengalaman beberapa negara menunjukkan, hingga kini belum diketemukan jurus mujarab yang benar-benar ampuh untuk menyensor pornografi internet.


Dimulai dari masyarakat

Kebijakan sensor di beberapa negara, justru dimulai dari masyarakat dan bukan dari pemerintah. Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman yang lebih dahulu mengenyam internet, ternyata lebih memilih internet dikembangkan secara self regulating. Misalnya, yang dilakukan oleh Bertelsman Foundation yang sudah meluncurkan ICRA Filter. ICRA Filter adalah software yang diluncurkan oleh Internet Content Rating Association. Dengan software yang diluncurkan tersebut, keluarga dan guru dapat melindungi anak-anak dan remaja dalam pemanfaatan internet sebagaimana mestinya.

Mungkin yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mencari satu persepsi yang sama bagaimana menyikapi pornografi internet itu sendiri. Berbagai jenis software mungkin bisa dikembangkan untuk meredam pornografi. Toh, bisa dipastikan norma yang dianut akan kembali pada masyarakat. Masyarakatlah yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana persoalan pornografi ini diatur.
Masyarakat di sini lebih difokuskan pada pengguna internet selaku pihak yang langsung berhadapan dengan objek tersebut. Pemerintah tidak lagi menjadi regulator, melainkan beralih wujud menjadi fasilitator. Pemerintah tidak lagi mengontrol, melainkan membatasi mana yang menjadi pokok perhatian dalam pornografi internet.

Diskusi bisa diawali dengan adanya pengakuan akan eksistensi dari pornografi yang disebarluaskan. Masyarakat adalah kunci dari segala-galanya, terutama dalam membangun hukum sebagai sikap tindak itu sendiri. Norma yang dianut masyarakat bisa menjadi titik awal mengulas lebih jauh bagaimana pornografi internet ini diatur dalam hukum positif (tertulis). Percuma saja jika pemerintah mengharuskan filterisasi dengan menggunakan berbagai cara, termasuk penggunaan software dan penutupan akses pada backbone. Sementara masyarakat sendiri tidak mengakui peraturan atau ketentuan yang dibuatnya. Usaha membangun kesadaran bagaimana mengunakan internet secara bijak mungkin butuh waktu yang tidak sedikit.

Secanggih apapun sensor internet dilakukan, tetap akan dikembalikan pada nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, internet menjadi bebas nilai dan tidak adil jika dipersalahkan sebagai sarang dari pornografi. Karena itu, masyarakat dan pemerintah harus lebih bijak dalam memandang internet itu sendiri. Kemudian, bagian yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan penyedia jasa internet (PJI) sebagai pihak yang menyediakan akses internet pada masyarakat. Terutama, sebagai stakeholder dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, khususnya internet di Indonesia.

Sebagai penyedia jasa, sudah selayaknya PJI bertanggungjawab atas penayangan gambar, tulisan, suara, atau paduan yang disimpan dalam database. Sudah semestinya, yang bersangkutan melakukan kontrol terhadap content yang bernuansa porno tersebut. Akibatnya, informasi yang disediakan pasti akan terkategorisasi. Tampaknya, ini yang harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana menyeleraskan kebutuhan masyarakat dengan kepentingan bisnis yang juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan penetrasi internet. Misalkan, dengan membuat peraturan yang mewajibkan pada para ISP untuk membuat program atau paket bagi keluarga.

Jika pilihan tersebut akan membatasi dunia usaha berkembang, setidak-tidaknya setiap ISP diwajibkan untuk menyertakan software filter yang bisa di-download oleh keluarga.
Dengan begitu, hak masyarakat untuk memperoleh informasi tidak dikorbankan dan begitu juga dengan kepentingan bisnis. Masing-masing bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.


Hapus badan sensor

Mandulnya badan sensor selama ini boleh jadi menjadi salah satu sebab tidak berfungsinya mekanisme sensor. Pemotongan beberapa adegan, baik kekerasan maupun seks mungkin terkadang bertentangan dengan kebebasan ekspresi dari produsen. Lantas bagaimana dengan keberadaan badan sensor dikaitkan dengan internet itu sendiri yang secara alamiah lahir dalam nuansa liberal. Sejauh mana badan sensor yang sudah demikian mandulnya harus menggenjot langkahnya untuk mengontrol internet?

Internet tidak gampang diatur karena memiliki keunikan tersendiri. Sebagai media content, internet perlu diregulasi. Namun dari sisi media informasi, internet tidak perlu diregulasi. Pasalnya, internet sendiri terbangun dengan kesepakatan. Demikian pula dengan aturan yang ada didalamnya, juga dijalin dengan kesepakatan. Konstitusi pun sudah memberikan jaminan atas hak masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi. Di sini jelas, informasi merupakan hak azasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian juga dengan keberadaan lembaga sensor yang praktis akan menghambat masyarakat untuk menghasilkan, menyimpan, dan mendistribusikan informasi. Alternatifnya, membangun kesadaran masyarakat untuk menggunakan internet secara bijak. Pendapat ini pasti akan mendatangkan kritik tajam, terutama dari kalangan relijius yang sejak awak menolak keberadaan pornografi dalam masyarakat. Sebagai bagian dari informasi, pornografi juga merupakan hak masyarakat yang harus dilindungi. Dalam konteks ini, terjadi perubahan paradigma dari pornografi itu sendiri. Pornografi yang tadinya hak pribadi beralih sebagai bagian hak publik.

Satu hal yang krusial dalam diskursus pornografi sebagai hak publik tentunya menyangkut nilai dan perspektif dari masyarakat. Wacana ini mesti dikembangkan dalam berbagai sisi dan pandangan dari berbagai kelompok masyarakat. Hal ini mengingat pornografi tidak saja bersentuhan dengan nilai moral saja, tetapi telah menjadi komoditas tersendiri.

Ringkasnya, badan sensor tidak lagi diperlukan untuk melakukan pengekangan terhadap ekspresi dalam berkomunikasi dan berinformasi. Namun, yang penting bagaimana menciptakan sensor sendiri dari setiap pribadi pada saat terkoneksi dengan internet. Pasalnya, keberadaan badan sensor hanya akan menyebabkan pertentangan yang selalu berakhir dengan perdebatan ideologi dari masing-masing kelompok. Pornografi memang akan sulit untuk dihapuskan karena telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Pekerjaan rumah terbesar dari masyarakat adalah menerima keberadaan internet secara alamiah tanpa harus mematikan kesempatan untuk memperoleh akses informasi.

0 komentar:

Posting Komentar